Istilah Tindak Pidana


1.      Istilah Tindak Pidana
Tindak pidana dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti perbuatan melanggar hukum, perbuatan kejahatan. Sedangkan tindak pidana dalam bahasa belanda artinya straafbaar feit yang merupakan istilah resmi dalam straafwetoek atau KUHP. Ada juga istilah dalam bahasa asing yaitu delict, tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana. Pelaku ini dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana. Seperti diketahui istilah straafbaar feit telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yang menimbulkan berbagai arti, umpamanya saja dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dapat atau boleh dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana. Para sarjana Indonesia mengistilahkan straafbaarfeit itu dalam arti yang berbeda, diantaranya Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yaitu: “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, “ bagi barang siapa larang tersebut”
Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundang –undangan yang ada maupun dalam berbagai literature hukum sebagai terjemahan dari istilah straafbaar feit adalah sebagai berikut
1.      Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang undangan pidana kita. Hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalan UU No. 6 Tahun 1982 tentang hak cipta, UU No 11/PNPS/1963 tentang pemberantasan tindak pidana, UU No 3 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan perundang undangan lainnya. ahli hukum yang menggunakan istilah ini seperti Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH. Untuk istilah “tindak” memang telah lazim digunakan dalam peraturan perundang-undangan kita walaupun masih dapat diperdebatkan juga ketepatannya. Tindak menunjuk pada hal kelakuan manusia dalam arti positif (bandelen) semata, dan tidak termasuk kelakuan manusia yang pasif atau negatif (nalaten)
2.      Peristiwa pidana, untuk kata “peristiwa” menggambarkan pengertian yang lebih luas dari perkataan perbuatan karena peristiwa tidak saja menunjuk pada perbuatan manusia, melainkan mencakup pada seluruh kejadian yang tidak saja disebabkan oleh adanya perbuatan manusia semata, tetapi juga oleh alam, seperti matinya seseorang karena disambar petir atau tertimbun tanah longsor yang tidak penting dalam hukum pidana. Baru menjadi penting dalam hukum pidana apabila kematian orang itu diakibatkan oleh perbuatan manusia (pasif maupun aktif). Dan istilah digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya Mr. R. Tresna dalam bukunya Asas asas Hukum Pidana. Pembentuk undang undang juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950.
3.      Delik, istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literature, istilah delik secara literlijk sebetulnya tidak ada kaitannya dengan istilah straafbaar feit karena istilah ini berasal dari kata delctum (latin), dan juga dipergunakan dalam perbendaharaan hukum belanda: delict, namun isi pengertiannya tidak ada perbedaan prinsip dengan istilah straafbaar feit. misalnya Prof. Moeljatno pernah menggunakan istilah ini, seperti pada judul buku beliau Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan walaupun menurut beliau lebih tepat dengan istilah perbuatan pidana.
4.      Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku Pokok-Pokok Hukum Pidana yang ditulis oleh Mr. M.H. Tirtaamidjaja.
5.      Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni dalam buku beliau Ringkasan tentangHukum Pidana.
6.      Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh pembentuk Undang-undang  No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak.
7.      Perbuatan pidana, digunakan oleh Mr.Moeljatno dalam berbagai tulisan beliau, misalnya dalam buku Asas-asas Hukum Pidana. Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefinisikan beliau sebagai “ perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”
Istilah perbuatan pidana lebih tepat dengan alasan sebagai berikut.
1.      Perbuatan yang dilarang adalah perbuatannya ( perbuatan manusia yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya . sementara itu ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya.
2.      Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang ditujukan pada orangnya), ada hubungan yang kuat. Oleh karena itu, perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula.
3.      Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah, maka lebih tepat digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada keadaan konkret yaitu pertama, adanya kejadian tertentu (perbuatan); dan kedua, adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu (Moeljatno, 1983:54).

Nyatalah kini setidak-tidaknya dikenal ada tujuh istilah dalam bahasa kita sebagai terjemahan dari istilah strafbraff feit (Belanda).



2.      Pengertian Tindak Pidana (Strafbaar Feit)
Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan “strafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagi “tindak pidana” di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaar feit” tersebut.
Perkataan “feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de werkelijkheid”, sedang “strafbaar” berarti “dapat dihukum”, hingga secara harfiah perkataan strafbaar feit (tindak pidana) itu dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum , yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.
Oleh karena seperti yang telah dikatakan di atas, bahwa pembentuk undang-undang kita itu tidak memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya telah ia maksud dengan perkataan “strafbaar feit”, maka timbullah di dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan “strafbaar feit” tersebut. Beberapa pendapat para ahli mengenai pengertian tindak pidana tersebut adalah:
Hazewinkel-Suringa misalnya, mereka telah membuat suatu rumusan yang bersifat umum dari strafbaar feit sebagai suatu prilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak didalam suatu pergaulan hidup tertentu dan duanggap sebagai prilaku yang harus ditiadakan oleh hokum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat didalamnya.
Para penulis lama seperti professor Van Hamel telah merumuskan strafbaar feit itu sebagai suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain .
Menurut Profesor Pompe, perkataan strafbaar feit itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hokum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hokum dan terjaminnya kepentingan umum.
Menurut Moeljatno memberikan pengertian tindak pidana sebagai berikut: kelakuan dan kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan dan sebagai perbuatan pidana yang tidak dihubungkan dengan kekuasaan yang merupakan pertanggung jawaban pidana pada orang yang melakukan perbuatan pidananya.
Menurut Simons Tindak pidana adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang diancam oleh orang yang mampu bertanggung jawab.
Van Hammel merumuskan istilah tindak pidana dengan rumusan delik yaitu sebagai berikut:
“kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang melawan hukum, yang patut di pidana dan dilakukan dengan kesalahan”.
R Tresna merumuskan tindak pidana dengan istilah peristiwa pidana yang diartikan sebagai berikut:
Sesuatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang lain terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman. Sebagai patokan yang disebut dengan peristiwa pidana itu harus mencakup syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Harus ada perbuatan manusia.
2.      Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan umum.
3.      Harus terbukti adanya dosa pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus dapat dipertanggung jawabkan.
4.      Perbuatan itu harus melawan hokum.
5.      Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya didalam undang-undang.
3. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Unsur-unsur tindak pidana di bedakan menjadi dua sudut pandang yaitu dari sudut teoritis dan dari sudut undang-undang. Teori artinya berdasarkan pendapat ahli hukum, yang tercermin pada rumusannya. Sementara itu, sudut undang-undang adalah bagaimana kenyataan tindak pidana itu di rumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang ada.
1.      Unsur Tindak  Pidana Menurut Beberapa  Teoritis
Unsur-unsur yang ada dalam tindak pidana adalah bagaimana melihat bunyi rumusan yang dibuatnya. Beberapa contoh, diambilkan  dari batasan tindak pidana oleh teoretisi yang telah dibicarakan sebelumnya, yakni: Moeljatno, R.Tresna, Vos, Jonkers, dan Schravendijk.
Menurut Moeljatno unsur tindak pidana adalah:
a)      Perbuatan;
b)      Yang dilarang(oleh aturan hukum);
c)      Ancaman pidana(bagi yang melanggar larangan).
Perbuatan manusia saja yang dilarang, oleh aturan hukum. Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada perbuatan  itu, tapi tidak dipisahkan  dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana mennggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyaataannya benar-benar terpidana. Pengertian diancam pidana merupakan pengertan umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana. Apakah inkongkrito yang melakukan perbuatan itu dijatuhi pidana ataukah tidak merupakan hal yang lain dari pengeratian tindak pidana.
Dari rumusan R.Tresna, tindak pidana terdiri dari unsur sebagai berikut:
a)      Perbuatan/rangkaian perbuatan(manusia)
b)      Yang bertantangan dengan peraturan perundang-undangan
c)      Diadakan tindakan tindakan penghukuman

Dari unsur ketiga kalimat diadakan tindakan penghukuman, terdapat pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang di larang itu selalu diikuti dengan penghukuman(prmidanaan). Berbeda dengan Moeljatno, karena kalimat di ancam pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan tidak dengan demikian di jatuhi pidana.
Walaupun mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang bertentangan dengan perundang-undangan selalu diikuti dengan pidana, namun di dalam unsur-unsur itu tidak terdapat prihal kesan syarat-syarat(subjektif) yang melekat pada orangnya untuk dapat dijatuhkannya  pidana.
Menurut bunyi batasan yang di buat Vos, unsur-unsur tindak pidana adalah:
a)      Kelakuan manusia
b)      Diancam dengan pidana
c)      Dalam peraturan perundang-undangan.
Dapat dilihat bahwa pada unsur-unsur dari tiga batasan penganut pahan dualisme tersebut, tidak ada perbedaan, yaitu bahwa tindak pidana itu adalah perbuatan manusia yang dilarang, dimuat dalam undang-undang dan di ancam pidana bagi yang melakukannya.  Dari unsur-unsur yang ada jelas terlihat bahwa unsur-unsur tersebut tidak menyangkut diri sipembuat atau dipidananya pembuat, semata-mata mengenai perbuatannaya.  Akan tetapi, jika dibandingkan dengan pendapat  penganut paham monisme memang tampak berbeda. Penulis mengambil dua rumusan saja yang sebelumnya telah ditemukan oleh Jonkers dan Schravendijk.
Dari batasan yang dibuat  Jonkers (penganut paham monisme) dapat dirinci unsure-unsur tindak pidana adalah:
a)      Perbuatan (yang)
b)      Melawan hukum (yang berhubungan dengan)
c)      Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat)
d)     Dipertanggung jawabkan
Sementara itu, Schravendijk dalam batasan yang dibuatnya ,jika dirinci terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
a)      Kelakuan (orang yang)
b)      Bertentangan dengan keinsyafan hokum
c)      Diancam denagn hukum
d)     Dilakukan oleh orang yang (yang dapat)
e)      Dipersalahkan
Walaupun rincian dari ketiga rumusan diatas tanpak berbeda, namun hakekatnya terdapat persamaan, yaitu tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatannya dengan unsur yang mengenai diri orangnya.
2.      Unsur  Rumusan Tindak Pidana dalam Undang-Undang
Dari rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP itu, dapat diketahui adanya 11 (sebelas) unsur tindak pidana, yaitu;
a.       Unsur tingkah laku
b.      Unsur melawan hukum
c.       Unsur kesalahan
d.      Unsur akibat konstitutif
e.       Unsur keadaan yang menyertai
f.       Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana
g.      Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana
h.      Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana
i.        Unsur objek hukum tindak pidana
j.        Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana
k.      Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana
Dari sebelas unsur tersebut, diantaranya dua unsur, yaitu kesalahan dan melawan hukum yang termasuk unsur subjektif sedangkan selebihnya berupa unsur objektif. Unsur yang bersifat objektif adalah semua unsur yang berada di luar keadaan batin manusia atau si pembuat, yakni semua unsur mengenai perbuatannya, akibat perbuatan dan keadaan tertentu yang melekat pada perbuatan dan objek tindak pidana. Sedangkan unsur subjektif adalah semua unsur yang mengenai batin atau melekat pada keadaan batin orangnya.
a.       Unsur Tingkah Laku
Tindak pidana adalah mengenai larangan berbuat. Tingkah laku merupakan unsur mutlak tindak pidana. Tingkah laku dalam tindak pidana terdiri dari tingkah laku atau positif/ AKTIF yang juga dapat disebut materiil dan tingkah laku pasif atau negatif.
Tingkah laku aktif adalah suatu bentuk tingkah laku yang untuk mewujudkannya atau  melakukannya di perlukan wujud gerakan atau gerakan tubuh, contohnya mengambil, memalsukan dan membuat secara palsu.
Sementar itu, tingkah laku pasif berupa tingkah laku yang membiarkan, suatu bentuk yang tidak melakukan aktivitas tertentu dari tubuh  atau bagian tubuh yang seharusnya orang tersebut melakukan perbuatan aktif dan dengan tidak berbuat demikian, seorang itu disalahkan karena tidak melaksanakan kewajiban hukumnya, contohnya adalah membiarakan, meninggalkan, tidak memberitahukan, dll
Dalam hal pembentuk undang-undang merumuskan unsur tingkah laku, ada dua bentuk tingkah laku yaitu dirumuskan dalam bentuk yang konkret, contohnya perbuatan menghilangkan nyawa sedangkan dalam bentuk tingkah laku abstrak terdiri dari wujud-wujud konkret dalam pelaksanaannya, contohnya menembak, meracun, dll.
Dilihat dari syarat penyelesaian tindak pidana, tingkah laku dibedakan menjadi dua macam yaitu tingkah laku sebagai syarat penyelesaian tindak pidana dan tingkah laku yang harus mengandung akibat sebagai syarat penyelesaian tindak pidana.
Untuk yang pertama, yaitu syarat selesainya tindak pidana, bergantung sepenuhnya pada selesainya tingkah laku. Contohnya untuk selesanya pencurian, tergantung pada selesai mewujudkan perbuatan mengambil dan jika tidak terjadilah percobaan.
Sementara pada selesainya perbuatan secara nyata, tapi bergantung pada perbuatan yang nyata tadi. Contohnya untuk menyelesaikan pembunuhan tidaklah cukup pada penyelesaian melakukan menembak, tetapi pada akibat (matinya yang di tembak) dari perbuatan menembak tersebut.
b.      Unsur Melawan Hukum
Dari sudut undang-undang, suatu perbuatan tidak mempunyai sifat melawan hukum sebelum perbuatan itu diberi sifat terlarang dengan memuatnya sebagai dilarang dalam peraturan perundang-undangan, artinya sifat terlarang itu disebabkan atau bersumber pada dimuatnya dalam peraturan perundang-undangan.
Berpegang pada pendirian ini, setiap perbuatan yang yang ditetapkan sebagai dilarang dengan mencantumkannya dalam peraturan perundang-undangan (menjadi tindak pidana), tanpa melihat apakah unsur melawan hukum itu dicantumkan ataukah tidak dalam rumusan, maka rumusan tindak pidana itu sudah mempunyai sifat melawan hukum. Artinya melawan hukum adalah unsur mutlak dari tindak pidana. Pandangan formil ini juga di anut oleh Mahkamah Agung sebagaimana terdapat dalam pertimbangan putusannya No. 30 K/Kr./1969 tanggal 6 juni 1970, yang menyatakan bahwa “dalam setiap tindak pidana selalu ada unsur sifat melawan hukum” dari perbuatan yang dituduhkan walaupun dalam rumusan delik tidak selalu dicantumkan” (Ahmad Soema di Pradja, 1997:336).
Mencantumkan secara tegas unsur sifat melawan hukum dalam suatu rumusan tindak pidana didasarkan pada suatu alasan tertentu, sebagaimana tercermin dalam keterangan risalah penjelasan WvS Belanda, yaitu adanya kekhawatiran bagi pembentuk undang-undang (Smidt, 1:409), bahwa jika tidak dimuatnya unsur melawan hukum disitu, akan dapat dipidananya juga perbuatan lain yang sama, namun tidak bersifat melawan hukum, ia berhak untuk melakukan itu (JE. Jonkers, 1987:100). Contoh konkret hukum dalam rumusan (maksud memiliki dengan melawan hukum), orang-orang yag mengambil benda-benda di toko swalayan sebelum membayar di tempat kasir dapat di pidana pula, walaupun mengambil benda-benda itu tidak melawan hukum. Artinya jelas bahwa setiap unsur melawan hukum itu dicantumkan dalam rumusan tindak pidana, sudah pasti ada perbuatan yang sama tidak bersifat melawan hukum, yang jika unsur melawan hukum itu tidak dicantumkan dalam rumusan, orang yang berhak melakukan perbuatan tadi akan dipidana pula, hal ini tidak dikehendaki oleh pembentuk undang-undang.
c.       Unsur Kesalahan
Kesalahan dalam hukum pidana berhubungan dengan pertanggungan jawab atau mengandung beban pertanggungan jawab pidana yang terdiri dari kesengajaan dan kelalaian.
1.      Kesengajaan
Dalam Memorie van Teolichting (MvT) MvS Belanda ada sedikit keterangan yang menyangkut mengenai kesengajaan ini, yang mengatakan “tindak pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui” (Moeljatmo, 1983:171). Dengan singkat dapat disebut bahwa kesengajaan itu adalah orang yang menghendaki dan orang yang mengetahui. Setidak-tidaknya kesengajaan itu ada dua, yakni kesengajaan berupa kehendak dan pengetahuan (yang diketahui).
Menurut teori kehendak, kesengajaan adalah kehendak yang ditujukan untuk melakukan perbuatan, artinya untuk mewujudkan perbuatan itu memang telah dikehendaki sebelum orang itu sungguh-sungguh berbuat. Jika dihubungkan pada rumusan rumusan tindak pidana yang mengandung unsur perbuatan yang merupakan akibat sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, maka selain ditujukan pada perbuatan, kehendak juga harus ditujukan pada perbuatan, kehendak juga harus ditujukan pada timbulnya akibat itu. Contohnya pada kejahatan pembunuhan, dimana perbuatan menembak (wujud dari perbuatan menghilangkan nyawa) memang ia kehendaki, dan kematian korban dari perbuatan itu  juga ia kehendaki.
Menurut teori pengetahuan, kesengajaan adalah mengenai segala apa yang ia ketahui tentang perbuatan yang akan dilakukan dan beserta akibatnya. Jika dihubungkan dengan tindak pidana, kesengajaan itu adalah yang ia ketahui dan banyangkan sebelum seseorang melakukan perbuatan beserta segala sesuatu sekitar perbuatan yang akan dilakukannya sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang. Misalnya kesengajaan dalam pencurian, yaitu pengetahuann atau kesadaran dalam diri pelaku terhadap perbuatan mengambil, barang yang di ambil (milik orang lain), maksudnya mengambil dan kesadaran bahwa perbuatan itu adalah melawan hukum.
2.      Kelalaian
Kelalaian yang sering disebut dengan tidak sengaja merupakan lawan dari kesenagjaan. Kesengajaan dan kelalaian merupakan unsur batin (subjektif). Sesuatu mengenai alam batin ini bisa berupa kehendak, pengetahuan, perasaan, pikiran dan kata-kata lainnya yang dapat menggambarkan perihal keadaan batin manusia.
Sementara itu, pandangan objektif meletakkan syarat kelalaian dari suatu perbuatan, yaitu pada ukuran kebiasaan dan kewajaran yang berlaku dalam masyarakat. Contohnya, pada malam hari pengemudi bemo melaju di jalan dalam kecepatan yang di perkenankan, dan ketika itu pengendara sepeda motor tanpa lampu dalam kecepatan tertentu yang berlawanan arah disebelah  kanan bemo, dalam jarak yang sangat dekat, secara tiba-tiba menyeberang berbelok ke jarak  yang sangat  dekat, secara tiba-tiba menyeberang berbelok ke kanan. Dalam situasi yang demikian, si sopir bemo harus berbuat untuk menghindari tabrakan. Pilihan perbuatannya, pertama, ia menginjak rem, kedua ia membanting setir ke kiri, ternyata sepeda motor bertabrakan juga dengan bagian depan bemo sehingga prang itu terjatuh dan kakinya patah.
Apakah ada kelalaian pada diri si sopir bemo tersebut? Untuk menjawab ini, pandangan objektif harus di ukur pada sopir-sopir bemo yang lainnya dalam situasi  dan kondisi yang sama dengan sopir bemo yang tadi. Dari sudut kewajaran pada umumnya, apakah mereka akan memilih perbuatann yang sama, yakni menginjak rem dan membanting setir ke kiri. Jika pilihannya sama, disini tidak ada kelalaian, tetapi jika memilih sebaliknya, ada kelalaian pada si sopir bemo tadi.
3.      Unsur Akibat Konstitusi
Unsur akibat akibat konstitutif ini terdapat pada; (1) tindak pidana matriil atau tindak pidana dimana akibat menjadi syarat selesinya tindak pidana, (2) tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai syarat pemberat pidana dan (3) tindak pidana dimana akibat merupakan syarat dipidananya pembuat. Berbeda dengan yang dimaksud kedua, dalam tindak pidana mareriil (yang pertama), timbulnya akibat itu bukan untuk memberatkan pertanggungjawaban pidana, dalam arti berupa alasan pemberat pidana, tetapi menjadi syarat selesaiya tindak pidana perbedaan lain ialah unsur akibat konstutif pada tindak pidana materiil adalah unsur pokok tindak pidana, artinya jika unsur ini tidak timbul, tindak pidananya tidak terjadi, yang terjadi hanyalah percobaannya.
Sementara itu, unsur akibat sebagai syarat memperberat pidana karena bukan merupakann  unsur pokok tindak pidana, artuinya jika syarat ini tidak timbul, tidak terjadi percobaan, melainkan terjadinya tindak pidana selesai.
Sementara itu unsur akibat sebagai syarat dapat dipidananya pembuat ialah tanpa timbulnya akibat itu perbuatan yang dirumuskan dalam undang-undang  itu tiidak di pidana. Baru dapat dipidana apabila akibat terlarang itu telah timbul. Conntohnya pasal 288, perbuatan persetubuhan dengan isteriny itu tidak dapat dipidana dan baru dipidana jika dari persetubuhan itu mendatangkan akibat luka atau kematian isterinya yang belum waktunya dikawin itu telah timbul.
Sejalan dengan bentuk tindak pidana dalam bentuk  tindak pidana materiil, jika dillihat dari cara perumusannya, maka akibat konstitutif ini ada dua, yang sebagai berikut:
1.      Akibat konstitutif yang disebutkan secara tegas dalam rumusan tindak pidana, misalnya: pada penipuan, pemerasan, pengancamann, akibat konstitutif disebutkan dalam  rumusan yakni orang menyerahkan benda, orang membuat utang dan  orang menghapuskan piutang. Terjadinya persetubuhan merupakan unsur akibat konstitutif dari perbuatan memaksa.
2.      Akibat konstitutif yang tidak secara tegas disebutkan dalam rumusan tindak pidana, tetapi unsur akibat konstitutif itu sudah dengan sendirinnya ada atau terdapat dan melekat pada unsur tingkah lakunya, misalnya pada pembunuhan. akibat konstitutif berupa hilangnya nyawa orang lain sudah dengan sendirinya terdapat pada perbuatan menghilakan nyawa.
4. Unsur Keadaan yang Menyertai
Unsur keadaan yang menyertai adalah unsur tindak pidana berupa semua keadaan yang ada dan berlaku dalam mana perbuatan dilakukan. Unsur keadaan yang menyertai ini dalam kenyataan rumusan tindak pidana dapat berupa sebagai berikut:
1)      Unsur keadan yang menyertai mengenai cara melakukan perbuatan
Unsur keadaan yang menyertai yang berupa cara melakukan perbuatan, berarti cara itu melekat pada perbuatan yang menjadi unsur tindak pidana. Dengan mencantumkan unsur cara melakukan perbuatan wujud tingkah laku itu menjadi terbatas. Cara berbuat dapat juga disebut debagai wujud konkret dari tingkah laku. Penyebutan unsur cara dalam mewujudkan tingkah laku hanyalah terdapat pada tindak pidana yang unsur tingkah lakunya bersifat abstrak. Misalnya kekerasan yang dan ancaman keerasan merupakan wujud konkret dari perbuatan memaksa, atau dengan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau menggunakan nama palsu dapat disebut wujud dari perbuatan menggerakan pada penipuan.
2)      Unsur cara untuk dapat dilakukannya perbuatan
Unsur ini agak berbeda dengan yang disebutkan yang pertama. Unsur cara untuk dapat dilakukanya perbuatan bukan berupa cara berbuat, melainkan untuk dapat melakukan perbuatan yang menjadi larangan dalam tindak pidana, terlebih dahulu harus dipenuhinya cara-cara tertentu agar perbuatan yang menjadi larangan itu dapat diwujudkan. Agaknya dapat diperjelas dengann contooh pada pasal 363(1) sub 5, cara-cara merusak, memotong, memanjat memakai anak  kunci palsu adalah cara-cara yang harus dilakukan sebelum seseorang itu dapat melakukan perbuatan mengambil (unsur tingkah liku pencurian) objek  benda yang  dicuri.
3)      Unsur Keadaan Menyertai Mengenai Objek Tindak Pidana
Keadaan yang menyertai mengenai objek tindak pidana adalah semua keadaan yang melekat pada atu mengrenai  objek tidak pidana, misalnya unsur ”milik orang lain” yang melekat pada  benda yang menjadi objek pencurian, penggelapan, perusakan, atau ternak, belum waktunya dikawin, seorang yang belun dewasa yang baik tingkah lakunya.
4)      Unsur Keadaan yang Menyertai Mengenai Subjek Tindak Pidana
Unsur ini adalah segala keadaan mengenai  diri subjek, tindak pidana, baik yang bersifat objektif maupun subjektif. Bersifat objektif adalah segala keadaan diluar keadaam batin pelakunya, misalnya seorang ibu, seorang pejabat, seorang nakhoda, seorangg dokter, seorang warga Negara RI, dua atau lebih dengan bersekutu, sementara itu, yang bersifat subjekktif adalah keadaan mengenia batin subjek hukum, misalnya dengan rencana lebih dulu.
5)      Unsur Keadaan yang Menyertai Mengenai Tempat Dilakukannya Tindak Pidana
Unsur ini  adalah mengenai  segala keadaan mengennai  tempat dilakukannya tempat pidana, misalnya debuah kediaman  atau pekarangan yang tertutup yang ada kediaman, dimuka umum, berada di jalan umum, ditempat lalu lintas umum.
6)      Keadaan yang Menyertai Mengenai Waktu Dilakukannya Tindak Pidana
Unsur ini adalah mengenai waktu dilakukannuya tindak pidana yang dapat berupa syarat memperberat pidana maupun yang menjadi unsur pokok tindak pidana. Berupa syarat diperberatnya pidana, misalnya waktu malam, kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi, gunung meletus, dll. Sementara itu, waktu yang menjadi unsur pokok tindak pidana misalnya dalam masa perang, pejabat yang sedang (waktu) menjadi tugasnya yang sah.

f.       Unsur syarat tambahan untuk dapatnya di tuntut pidana
Unsur ini hanya terdapat pada tindak piadana aduan. Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang hanya dapat di tuntut pidana jika ada pengaduan dari yang berhak mengadu. Pengaduan memiliki substansi yang sama dengan laporan, yaitu keterangan atau informasi mengenai telah terjadinya tindak pidana yang di sampaikan kepada pejabat penyelidik atau penyidik yakni kepolisian, atau dalam hal tindak pidana khusus ke kantor kejaksaan negri setempat. Perbedaan pengaduan dengan laporan ialah pada pengaduan hanya : (1) dapat dilakukan oleh yang berhak mengadu saja, yakni korban kejahatan, atau wakilnya yang syah (lihat pasal 72): dan (2) pengaduan di perlukan hanya terhadap tindak pidana aduan saja. Pada laporan kedua, syarat itu tidak di perlukan.
Untuk dapatnya di tuntut pidana pada tindak pidana aduan, di perlukan syarat adanya pengaduan dari yang berhak. Syarat pengaduan bagi tindak pidana aduan inilah yang di maksud dengan unsure syarat tambahan untuk dapatnya di pidana. Syarat ini ad di sebutkan secara tegas dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan, misalnya pada perjinaan (284 ayat 2), pada pnghinaan (310-318 jo 319), pada pencurian dalam kalangan keluarga (362-365 jo 367), tetapi ada yang sekedar menunjuk pada ketentuan syarat pengaduan pada pasal yang lain, misalnya pada penggelapan (376 menunjuk 367), atau pengancaman (370 menunjuk 367).
 Sementara itu, dalam hal tindak pidana biasa (dalam arti bukan aduan), agar negara dapat melakukan penuntutan pidana terhadap si pembuat atau pelakunya, tidak di perlukan baik laporan maupun pengaduan dari siapapun walaupun dalam praktik sering kali pejabaat penyelidk atau penyidik kepolisian meras perlu adanya pelaporan, bahkan di buat resmi sebuah surat yang di sebutnya laporan polisi di singkat LP, yang di tanda tangani si pelapor dan pejabat kepolisian yang menerima laporan. Fungsi surat semacam ini hanya sekedar bukti adanya pelaporan belaka, bukan dasar untuk di lakukannya kegiatan penyelidikan atau penyidika.

g.      Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana
       Mengenai syarat ini telah di singgung pada saat membicarakan unsur akibat konstitutif di muka. Unsure ini berupa alasan untuk di perberatnya pidana, dan bukan untuk syarat untuk terjadinya atau nsyarat selesainya tindak pidana sebagaimana pada tindak pidana materiil.
Unsur syarat untuk memperberat pidana bukan merupakan unsur pokok tindak pidana tersebut dapat terjadi tampa adanya unsur ini. Misalnya pada penganiayaan berat (354), kejahatan ini dapat terjadi (ayat 1) walaupun akibat luka berat tidak terjadi (ayat 2). Luka berat hanyalah sekedar syarat saja untuk dapat diperberatnya pidana.
             Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana dapat terletak pada bermacam-macam, ialah:
1.      Pada akibat yang timbul setelah perbuatan dilakukan, misalnya pada contoh di atas, atau contoh lainya, yakni akibat luka barat atau kematian (111 ayat 2, 288 ayat 2 dan 3, 300 ayat 2 dan 3);
2.      Pada objek tindak pidanya, misalnya penganiayaan pada ibunya, anaknya, istrinya, pejabat yang sedang menjalankan tugasnya yang sah (356 ke-1 dan ke-2), atau terhadap orang yang bekerja padanya. (352);
3.      Pada cara melakukan perbuatan, misalnya dengan tulisan atau gambaran yang ditempelkan dimuka umum (310 ayat 2), memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan (356 ke-3), atau secara tertulis dan dengan syarat tertentu (336 ayat 2);
4.      Pada subjek hukum tindak pidana, misalnya dokter, juru obat, bidan (216 jo 346, 347, 348);
5.      Pada waktu dilakukanya tindak pidana, misalnya belum lewat 2 tahun (216 ayat 3, 303 bis ayat 2, 321 ayat 2);
6.      Pada berulangnya perbuatan misalnya perbuatan, misalnya pencarian atau kebiasaan (282 ayat 3, 295 ayat 2, 299 ayat 3, 321 ayat 2)
h.      Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana
Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana adalah unsur keadaan-keadaan tertentu yang timbul setelah perbuatan dilakukan, yang menentukan untuk dapat dipidananya perbuatan. Artinya, bila setelah perbuatan dilakukan keadaan ini tidak timbul, maka terhadap perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum dan karenaya si pembuat tidak dapat dipidana, sifat melawan hukumnya dan patutnya dipidana perbuatan itu sepenuhnya digantungkan pada timbulnya unsur ini. Nilai bahayanya bagi kepentingan hukum dari perbuatan itu terletak pada timbulnya unsur syarat tambahan, bukan semata-mata pada perbuatan.
       Walaupun unsur ini sama dengan unsur akibat kostitutif dalam hal timbulnya setelah dilakukan perbuatan, tetapi berbeda secara prinsip. Unsur akibat konstitutif harus ada hubungan kausal antara perbuatan yang menjadi larangan dengan akibatnya,  seperti perbuatan memukul dengan kayu dengan akibat patah tanganya korban. Sementara itu pada unsur syarat tambahan untuk dapat dipidana tidak memerlukan hubungan kausal yang demikian. Misalnya unsur “pecah perang” tidak ada hubungan kausal atau bukan berupa akibat dari masuknya seseorang  warga negara RI menjadi anggota tentara asing dari pasal               Perbedaan yang lain ialah apabila akibat kostitutif tidak timbul setelah dilakukanya perbuatan, tindak pidananya tidak terjad, yang terjadi hanyalah percobaannya. Misalnya niat membunuh dengan telah melakukan perbuatan membacok batang leher korban, tetapi tidak meimbulkan akibat kematian, maka pembunuhan tidak terjadi, yang terjadi adalah percobaan pembunuhan (338 jo53). Akan tetapi, jika unsur syarat tambahan tidak timbul setelah dilakukan perbuatan (aktif maupun pasif), maka tindak pidana itu tidak terjadir45itu tidak terjadi. Misalnya bila tidak terjadi “kejahatan yang direncanakan”, tindak pidana tidak melapor sebagaimana dirumuskan pada pasal164 tidak terjadi , demikian juga tidak terjadi percobaannya.
i.        Unsur Objek Hukum Tindak Pidana
      Sebagaimana dibagian muka telah diterangkan bahwa di dalam rumusan tindak pidana selalu dirumuskan unsure tingkah laku atau perbuatan. Unsure ini selalu terkait dengan unsure objek tindak pidana. Kedua- duanya menjadi suatu kesatuan yang tidak terpisahkan , dan menjadi unsure esensialia atau mutlak tindak pidana. Karena tingkah laku selalu diarahkan pada objek tindak pidana.
       Unsur objek hukum seringkali diletakkan di belakang / sesudah unsure perbuatan, misalnya unsure menghilangkan nyawa orang lain pada pembunuhan (338). Menghilangkan merupakan unsure perbuatan dan nyawa orang lain adalah unsure objek tindak pidana.akan tetapi, ada kalanya unsur objek tindak pidana tidak diletakkan persis sesudah unsure perbuatan, artinya tidak menyatu. Misalnya pada kejahatan penipuan (378), pemerasa (368), pengancaman (369). Pada penipuan, unsure perbuatan adalah ”menggerakan” setelah unsur menggerakkan diletakkan unsur “orang lain”. Unsure orang lain ini bukanlan unsure objek penipuan, melainkan ada unsure objek penipuan yaitu (1) benda(menyerahkan benda), (2) utang(perjanjian) yang terdiri dari membuat utang dan menghapuskan piutang. pada pemerasan dan pengancaman, unsure perbuatan adalah memaksa, dan unsure objek adalah sama dengan penipuan tadi. Antara pemerasan dan pengancaman hanya berbeda mengenai unsur cara perbuatan memaksa di lakukan.
      Unsur mengenai objek pada dasarnya adalh unsure kepentingan hukum (rechtsbelang) yang harus di lindungi dan di pertahankan oleh rumusan tindak pidana. Dalam setiap rumusan tindak pidana selalu ada kepentingan hukum yang di lindungi, suatu jiwa dari rumusan tindak pidana. Memang di dalam rumusan tindak pidana terkandung dua hal yang saling bertolak belakang, seperti pedang bermata dua. Mata pedang yang satu melindungi kepentingan hukum orang yang di korban dan mata pedang yang satu menyerang kepentingan hukum orang yakni si pembuat tindak pidana dengan pidana. Contohnya, pada kejahatan terhadap harta benda, misalnya pencurian (362) atau kejahatan terhadap nyawa orang misalnya pembunuhan (338). Unsur objek pencurian adalah benda milik orang lain pada pembunuhan adalah nyawa orang lain. Pada rumusan pencurian oleh pembentuk undang-undang telah di lakukan perlindungan hukum terhadap kepentingan hukum atas benda milik orang lain, perlindungan hukum terhadap kepentingan hukum atas benda milik orang lain, perlindungan hukum atas hak yang melekat pada benda-benda yang menjadi milik setiap orang. demikian juga pada rumusan kejahatan pembunuhan, kepentingan hukum yang melindungi yang terkandung dalam rumusan pasal 338 adalah hak hidup setiap orang. Namun, dalam rumusan tindak pidana tersirat hak negara untuk menyerang kepentingan hukum si pembuat yakni secara tersurat dengan pidana tertentu yang dapat di jatuhkan oleh negara.
         Kepentingan hukum yang di lindungi yang selalu ada pad setiap rumusan tindak pidana, kadang sengan mudah dapat di ketahui karena secara tegas tersurat dalam rumusan. Akan tetapi, adakalanya tidak dengan mudah dapat di baca secara tersurat, karena unsure kepentingan hukum yang di lindungi terdapat secara tersirat, misalnya pada pasal 169 atau pasal 351. Pada pasal 169 atau pasal 351. Pada pasal 169 tentang kejahatan turut serta dalam perkumpulan yang bertujuan melakukan kejahatan. Unsure perbuatan adalah “turut serta”, dan  objek tindak pidana adalah sekumpulan yang bertujuan melakukan kejahatan. Kepentingan hukum yang di lindungi oleh rumusan pasal 169 bukan berupa kebeasan untuk masuk organisasi yang didirikan dengan tujuan untuk melakukan kejahatan, akan tetapi perlindungan   hukum pada masyarakat (ketertiban umum) dari kejahatan yang terorganisasi, dengan berlatar belakang penanggulangan secara dini (preventif) terhadap kejahatan semacam itu, misalnya terorisme atau narkotika.
             Sementara itu, pada kejahatan penganiayaan (351), tidak dicantumkannya unsure mengenai tingkah laku, hanya berupa perkecualian saja, bukan berarti dalam penganiayaan tidak terdapat unsure perbuatan. Pada dasarnya secara tersirat didalam kualifikasi penganiayaan (mishandeling) telah terdapat unsure perbuatan yakni “menganiaya”, yang artinya melakukan suatu perbuatan terhadap tubuh orang yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh orang. Tubuh orang adalah objek kejahatan. Ini artinya di dalam rumusan pasal 351 terdapat perlindungan hukum terhadap fisik orang dari perbuatan setiap orang yang menyerang atau menyakiti pisik orang lain.

j.        Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana
   Di bentuknya rumusan tindak pidana pada umumnya di tujukan pada setiap orang  artinya di buat untuk diberlakukan pada semua orang. Rumusan tindak pidana seperti ini dimulai dengan kata “barangsiapa” (bij die), atau pada tindak khusus kadang dengan merumuskan “setiap orang”. Tetapi ada beberapa tindak pidana dirumuskan dengan tujuan hanya di nberlakukan pada orang tertentu saja.dalam tindak pidana yang di maksudkan terakhir ini, dalam rumusan secara tegas  kepada siapa norma hukum tindak pidana diberlakukan. Kepada orang-orang tertentu  yang mempunyai kualitas atau yang memenuhi kualitas tertentu itulah yang dapat di berlakukan rumusan rumusan tindak pidana. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana adalah unsur  kepada siapa rumusan tindak pidan itu ditujukan tersebut.                                Unsure kualitas subjek hukum tindak pidana selalu merupakan unsur tindak pidana yang bersifat objektif. Misalnya, kualitas pegawai negeri pada semua kejahatan jabatan (bab XXVIII); orang yang karena terpaksa di beri barang untuk disimpan, wali, pengampu, wasi, pengurus yayasan (375); pemegang konosemen (383 bis); orang dewasa (292); seorang dokter (267), seorang ibu (308, 341, 342), dan masih banyak lagi.
k.      Unsur syarat tambahan memperingan pidana
         Unsur ini  bukan berupa unsur pokok yang membentuk tindak pidana, sama dengan unsur syarat tambahan lainnya, seperti unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana. Unsure ini di letakkan pada rumusan suatu tindak pidana tertentu yang sebelumnya telah di rumuskan. Ada dua macam unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana, yaitu unsure syarat tambahan yang bersifat objektif dan unsure syarat tambahan yang bersifat subjektif.
  Bersifat objektif, misalnya terletak pada nilai atau harga objek kejahatan secara ekonomis pada pencurian ringan (364), penggelapan ringan (373), penipuan ringan (379) atau perusakan benda ringan (407), apabila nilai ekonomis objek kejahatan adalah kurang dari Rp 250, dan objek tersebut bukan berupa ternak . sifat ringannya tindak pidana dapat pula  terletak pada akibat tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjaklankan pekerjaan jabatan atau pencaharian tertentu pada penganiayaan ringan (352).
 Bersifat subjektif, artinya faktor faktor yang meringankan itu terletak pada sikap batin si pembuatnya, ialah apabila tindak pidana dilakukan karena ketidaksngajaan atau culpa, misalnya “karena kealpaannya” yang terdapt dalm rumusan pasal 409 sebagai unsure yang meringankan dari kejahatan pasal 408.








B.     ANALISIS MATERI
Dari beberapa penjabaran mengenai istilah dan pengertian tindak pidana diatas, maka dapat disarikan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana tersebut adalah, suatu perbuatan atau tindakan seseorang yang melanggar hukum yang otomatis dikenakan sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku, dan tingkat kesalahan yang ia perbuat. Sedangkan Unsur-unsur tindak pidana di bedakan menjadi dua sudut pandang yaitu dari sudut teoritis dan dari sudut undang-undang. Sudut teoritis yaitu bahwa tindak pidana itu adalah perbuatan manusia yang dilarang, dimuat dalam undang-undang dan di ancam pidana bagi yang melakukannya dan menurut undang-undang ada 11(sebelas) unsur, dari 11 unsur itu diantaranya 3 unsur yaitu kesalahan dan melawan hukum yang termasuk unsur subjektif, sedangkan selebihnya berupa unsur objektif.











C.    KESIMPULAN
Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundang –undangan yang ada maupun dalam berbagai literature hokum diantaranya yaitu tindak pidana, peristiwa  pidana, delik, pelanggara pidana, perbuatan yang boleh dihukum, dan perbuatan pidana. Menurut Moeljatno pengertian tindak pidana yaitu kelakuan dan kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan dan sebagai perbuatan pidana yang tidak dihubungkan dengan kekuasaan yang merupakan pertanggung jawaban pidana pada orang yang melakukan perbuatan pidananya. Sedangkan Unsur-unsur tindak pidana di bedakan menjadi dua sudut pandang yaitu dari sudut teoritis yang dikemukakan oleh Moeljatno, R.Tresna, Vos dan jokers dan dari sudut undang-undang terdapat sebelas unsur yaitu  Unsur tingkah laku, Unsur melawan hokum, Unsur kesalahan, Unsur akibat konstitutif, Unsur keadaan yang menyertai, Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana, Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana, Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana, Unsur objek hukum tindak pidana, Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana, dan Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.








                    DAFTAR PUSTAKA


Chazawi,Adami. 2007. Pelajaran Hukum PidanaI. Jakarta:RajaGrafindo Persada.
http://sunawekla. Blogspot.com/2012/09/ istilah pidana dan artinya. Html
R Tresna. 1959. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta:Tiara Limeted

Lamintang, 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung:Citra Aditya Bakti.

0 Response to "Istilah Tindak Pidana"

Post a Comment