A.
IDENTIFIKASI MATERI
1.
Istilah Tindak Pidana
Tindak pidana dalam kamus besar
bahasa Indonesia berarti perbuatan melanggar hukum, perbuatan kejahatan.
Sedangkan tindak pidana dalam bahasa belanda artinya straafbaar feit yang merupakan istilah resmi dalam straafwetoek atau KUHP. Ada juga istilah
dalam bahasa asing yaitu delict, tindak pidana berarti suatu perbuatan yang
pelakunya dapat dikenai hukuman pidana. Pelaku ini dapat dikatakan merupakan
“subjek” tindak pidana. Seperti diketahui istilah straafbaar feit telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yang
menimbulkan berbagai arti, umpamanya saja dapat dikatakan sebagai perbuatan
yang dapat atau boleh dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak
pidana. Para sarjana Indonesia mengistilahkan straafbaarfeit itu dalam arti
yang berbeda, diantaranya Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana,
yaitu: “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai
ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, “ bagi barang siapa larang tersebut”
Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam
perundang –undangan yang ada maupun dalam berbagai literature hukum sebagai
terjemahan dari istilah straafbaar feit
adalah sebagai berikut
1. Tindak
pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi
dalam perundang undangan pidana kita. Hampir seluruh peraturan
perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalan UU No. 6
Tahun 1982 tentang hak cipta, UU No 11/PNPS/1963 tentang pemberantasan tindak
pidana, UU No 3 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan perundang
undangan lainnya. ahli hukum yang menggunakan istilah ini seperti Prof. Dr.
Wirjono Prodjodikoro, SH. Untuk istilah
“tindak” memang telah lazim digunakan dalam peraturan perundang-undangan kita
walaupun masih dapat diperdebatkan juga ketepatannya. Tindak menunjuk pada hal
kelakuan manusia dalam arti positif (bandelen) semata, dan tidak
termasuk kelakuan manusia yang pasif atau negatif (nalaten).
2. Peristiwa
pidana, untuk kata “peristiwa” menggambarkan
pengertian yang lebih luas dari perkataan perbuatan karena peristiwa tidak saja
menunjuk pada perbuatan manusia, melainkan mencakup pada seluruh kejadian yang
tidak saja disebabkan oleh adanya perbuatan manusia semata, tetapi juga oleh
alam, seperti matinya seseorang karena disambar petir atau tertimbun tanah
longsor yang tidak penting dalam hukum pidana. Baru menjadi penting dalam hukum
pidana apabila kematian orang itu diakibatkan oleh perbuatan manusia (pasif
maupun aktif). Dan istilah digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya Mr. R.
Tresna dalam bukunya Asas asas Hukum
Pidana. Pembentuk undang undang juga pernah menggunakan istilah peristiwa
pidana, yaitu dalam Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950.
3. Delik,
istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literature, istilah delik secara literlijk sebetulnya tidak ada kaitannya
dengan istilah straafbaar feit karena
istilah ini berasal dari kata delctum
(latin), dan juga dipergunakan dalam perbendaharaan hukum belanda: delict, namun isi pengertiannya tidak
ada perbedaan prinsip dengan istilah straafbaar
feit. misalnya Prof. Moeljatno pernah menggunakan istilah ini, seperti pada
judul buku beliau Delik-Delik Percobaan
Delik-Delik Penyertaan walaupun menurut beliau lebih tepat dengan istilah
perbuatan pidana.
4. Pelanggaran
pidana, dapat dijumpai dalam buku Pokok-Pokok Hukum Pidana yang ditulis
oleh Mr. M.H. Tirtaamidjaja.
5.
Perbuatan yang boleh dihukum,
istilah ini digunakan oleh Mr. Karni dalam buku beliau Ringkasan tentangHukum Pidana.
6. Perbuatan
yang dapat dihukum, digunakan oleh
pembentuk Undang-undang No. 12/Drt/1951
tentang Senjata Api dan Bahan Peledak.
7. Perbuatan
pidana, digunakan oleh Mr.Moeljatno dalam
berbagai tulisan beliau, misalnya dalam buku Asas-asas Hukum Pidana.
Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefinisikan beliau
sebagai “ perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana
disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa
melanggar larangan tersebut”
Istilah
perbuatan pidana lebih tepat dengan alasan sebagai berikut.
1.
Perbuatan yang dilarang adalah perbuatannya ( perbuatan manusia yaitu suatu
kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya larangan
itu ditujukan pada perbuatannya . sementara itu ancaman pidananya itu ditujukan
pada orangnya.
2.
Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang
ditujukan pada orangnya), ada hubungan yang kuat. Oleh karena itu, perbuatan
(yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi, melanggar
larangan) dengan yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula.
3.
Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah, maka lebih tepat
digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada
keadaan konkret yaitu pertama, adanya kejadian tertentu (perbuatan); dan kedua,
adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu (Moeljatno,
1983:54).
Nyatalah kini
setidak-tidaknya dikenal ada tujuh istilah dalam bahasa kita sebagai terjemahan
dari istilah strafbraff feit
(Belanda).
2.
Pengertian Tindak Pidana (Strafbaar Feit)
Pembentuk undang-undang kita telah
menggunakan perkataan “strafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal
sebagi “tindak pidana” di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tanpa
memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan
perkataan “strafbaar feit” tersebut.
Perkataan “feit” itu sendiri di
dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte
van de werkelijkheid”, sedang “strafbaar” berarti “dapat dihukum”, hingga
secara harfiah perkataan strafbaar feit (tindak pidana) itu dapat diterjemahkan
sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum , yang sudah barang
tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum
itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan
ataupun tindakan.
Oleh karena seperti yang telah
dikatakan di atas, bahwa pembentuk undang-undang kita itu tidak memberikan
sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya telah ia maksud dengan
perkataan “strafbaar feit”, maka timbullah di dalam doktrin berbagai pendapat
tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan “strafbaar feit” tersebut. Beberapa
pendapat para ahli mengenai pengertian tindak pidana tersebut adalah:
Hazewinkel-Suringa misalnya, mereka
telah membuat suatu rumusan yang bersifat umum dari strafbaar feit sebagai
suatu prilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak didalam suatu
pergaulan hidup tertentu dan duanggap sebagai prilaku yang harus ditiadakan
oleh hokum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang
terdapat didalamnya.
Para penulis lama seperti professor
Van Hamel telah merumuskan strafbaar feit itu sebagai suatu serangan atau suatu
ancaman terhadap hak-hak orang lain .
Menurut Profesor Pompe, perkataan
strafbaar feit itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran
norma (gangguan terhadap tertib hokum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan
sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap
pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hokum dan terjaminnya
kepentingan umum.
Menurut Moeljatno memberikan
pengertian tindak pidana sebagai berikut: kelakuan dan kejadian yang
ditimbulkan oleh kelakuan dan sebagai perbuatan pidana yang tidak dihubungkan
dengan kekuasaan yang merupakan pertanggung jawaban pidana pada orang yang
melakukan perbuatan pidananya.
Menurut Simons Tindak pidana adalah
kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum,
yang berhubungan dengan kesalahan dan yang diancam oleh orang yang mampu
bertanggung jawab.
Van Hammel merumuskan istilah tindak
pidana dengan rumusan delik yaitu sebagai berikut:
“kelakuan manusia yang dirumuskan
dalam undang-undang melawan hukum, yang patut di pidana dan dilakukan dengan
kesalahan”.
R Tresna merumuskan tindak pidana
dengan istilah peristiwa pidana yang diartikan sebagai berikut:
Sesuatu perbuatan atau rangkaian
perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan
perundang-undangan yang lain terhadap perbuatan mana diadakan tindakan
penghukuman. Sebagai patokan yang disebut dengan peristiwa pidana itu harus
mencakup syarat-syarat sebagai berikut:
1. Harus ada perbuatan manusia.
2. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa
yang dilukiskan dalam ketentuan umum.
3. Harus terbukti adanya dosa pada orang
yang berbuat, yaitu orangnya harus dapat dipertanggung jawabkan.
4. Perbuatan itu harus melawan hokum.
5. Terhadap perbuatan itu harus tersedia
ancaman hukumannya didalam undang-undang.
3. Unsur-Unsur Tindak
Pidana
Unsur-unsur tindak pidana di
bedakan menjadi dua sudut pandang yaitu dari sudut teoritis dan dari sudut
undang-undang. Teori artinya berdasarkan pendapat ahli hukum, yang tercermin
pada rumusannya. Sementara itu, sudut undang-undang adalah bagaimana kenyataan
tindak pidana itu di rumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal
peraturan perundang-undangan yang ada.
1. Unsur Tindak Pidana Menurut Beberapa Teoritis
Unsur-unsur
yang ada dalam tindak pidana adalah bagaimana melihat bunyi rumusan yang
dibuatnya. Beberapa contoh, diambilkan
dari batasan tindak pidana oleh teoretisi yang telah dibicarakan
sebelumnya, yakni: Moeljatno, R.Tresna, Vos, Jonkers, dan Schravendijk.
Menurut
Moeljatno unsur tindak pidana
adalah:
a) Perbuatan;
b) Yang dilarang(oleh aturan hukum);
c) Ancaman pidana(bagi yang melanggar
larangan).
Perbuatan
manusia saja yang dilarang, oleh aturan hukum. Berdasarkan kata majemuk
perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya.
Ancaman (diancam) dengan pidana mennggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu
dalam kenyaataannya benar-benar terpidana. Pengertian diancam pidana merupakan
pengertan umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana. Apakah inkongkrito
yang melakukan perbuatan itu dijatuhi pidana ataukah tidak merupakan hal yang
lain dari pengeratian tindak pidana.
Dari rumusan R.Tresna, tindak pidana terdiri dari unsur
sebagai berikut:
a) Perbuatan/rangkaian perbuatan(manusia)
b) Yang bertantangan dengan peraturan
perundang-undangan
c) Diadakan tindakan tindakan penghukuman
Dari unsur ketiga
kalimat diadakan tindakan penghukuman, terdapat pengertian bahwa seolah-olah
setiap perbuatan yang di larang itu selalu diikuti dengan
penghukuman(prmidanaan). Berbeda dengan
Moeljatno, karena kalimat di ancam pidana berarti perbuatan itu tidak selalu
dan tidak dengan demikian di jatuhi pidana.
Walaupun
mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang bertentangan dengan
perundang-undangan selalu diikuti dengan pidana, namun di dalam unsur-unsur itu
tidak terdapat prihal kesan syarat-syarat(subjektif) yang melekat pada orangnya
untuk dapat dijatuhkannya pidana.
Menurut bunyi batasan yang di buat Vos, unsur-unsur
tindak pidana adalah:
a) Kelakuan manusia
b) Diancam dengan pidana
c) Dalam peraturan perundang-undangan.
Dapat dilihat bahwa pada unsur-unsur dari tiga
batasan penganut pahan dualisme tersebut, tidak ada perbedaan, yaitu bahwa tindak pidana itu adalah perbuatan manusia yang dilarang,
dimuat dalam undang-undang dan di ancam pidana bagi yang melakukannya. Dari unsur-unsur yang ada jelas terlihat
bahwa unsur-unsur tersebut tidak menyangkut diri sipembuat atau dipidananya
pembuat, semata-mata mengenai perbuatannaya. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan
pendapat penganut paham monisme memang
tampak berbeda. Penulis mengambil dua rumusan saja yang sebelumnya telah
ditemukan oleh Jonkers dan Schravendijk.
Dari batasan yang dibuat Jonkers (penganut paham monisme) dapat
dirinci unsure-unsur tindak pidana adalah:
a) Perbuatan (yang)
b) Melawan hukum (yang berhubungan dengan)
c) Kesalahan (yang dilakukan oleh orang
yang dapat)
d) Dipertanggung jawabkan
Sementara itu, Schravendijk dalam
batasan yang dibuatnya ,jika dirinci terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
a)
Kelakuan
(orang yang)
b) Bertentangan dengan keinsyafan hokum
c) Diancam denagn hukum
d) Dilakukan oleh orang yang (yang dapat)
e) Dipersalahkan
Walaupun rincian dari ketiga rumusan
diatas tanpak berbeda, namun hakekatnya
terdapat persamaan, yaitu tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai
perbuatannya dengan unsur yang mengenai diri orangnya.
2. Unsur
Rumusan Tindak Pidana dalam Undang-Undang
Dari rumusan tindak pidana tertentu
dalam KUHP itu, dapat diketahui adanya 11 (sebelas) unsur tindak pidana, yaitu;
a. Unsur tingkah laku
b. Unsur melawan hukum
c. Unsur kesalahan
d. Unsur akibat konstitutif
e. Unsur keadaan yang menyertai
f. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya
dituntut pidana
g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat
pidana
h. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya
dipidana
i.
Unsur
objek hukum tindak pidana
j.
Unsur
kualitas subjek hukum tindak pidana
k. Unsur syarat tambahan untuk memperingan
pidana
Dari sebelas unsur tersebut,
diantaranya dua unsur, yaitu kesalahan dan melawan hukum yang termasuk unsur
subjektif sedangkan selebihnya berupa unsur objektif. Unsur yang bersifat
objektif adalah semua unsur yang berada di luar keadaan batin manusia atau si
pembuat, yakni semua unsur mengenai perbuatannya, akibat perbuatan dan keadaan
tertentu yang melekat pada perbuatan dan objek tindak pidana. Sedangkan unsur
subjektif adalah semua unsur yang mengenai batin atau melekat pada keadaan
batin orangnya.
a. Unsur Tingkah Laku
Tindak pidana adalah mengenai larangan
berbuat. Tingkah laku merupakan unsur mutlak tindak pidana. Tingkah laku dalam
tindak pidana terdiri dari tingkah laku atau positif/ AKTIF yang juga dapat
disebut materiil dan tingkah laku pasif atau negatif.
Tingkah
laku aktif adalah suatu bentuk tingkah laku yang untuk mewujudkannya atau melakukannya di perlukan wujud gerakan atau
gerakan tubuh, contohnya mengambil, memalsukan dan membuat secara palsu.
Sementar itu, tingkah laku pasif berupa tingkah laku yang membiarkan, suatu bentuk
yang tidak melakukan aktivitas tertentu dari tubuh atau bagian tubuh yang seharusnya orang
tersebut melakukan perbuatan aktif dan dengan tidak berbuat demikian, seorang
itu disalahkan karena tidak melaksanakan kewajiban hukumnya, contohnya adalah
membiarakan, meninggalkan, tidak memberitahukan, dll
Dalam
hal pembentuk undang-undang merumuskan unsur
tingkah laku, ada dua bentuk tingkah laku yaitu dirumuskan dalam bentuk yang konkret, contohnya perbuatan menghilangkan nyawa sedangkan
dalam bentuk tingkah laku abstrak terdiri
dari wujud-wujud konkret dalam pelaksanaannya, contohnya menembak, meracun,
dll.
Dilihat dari syarat penyelesaian tindak pidana, tingkah laku dibedakan menjadi dua macam yaitu tingkah laku
sebagai syarat penyelesaian tindak pidana dan tingkah laku yang harus mengandung akibat sebagai syarat penyelesaian
tindak pidana.
Untuk yang pertama, yaitu syarat
selesainya tindak pidana, bergantung sepenuhnya pada selesainya tingkah laku.
Contohnya untuk selesanya pencurian, tergantung pada selesai mewujudkan perbuatan
mengambil dan jika tidak terjadilah percobaan.
Sementara pada selesainya perbuatan
secara nyata, tapi bergantung pada perbuatan yang nyata tadi. Contohnya untuk
menyelesaikan pembunuhan tidaklah cukup pada penyelesaian melakukan menembak,
tetapi pada akibat (matinya yang di tembak) dari perbuatan menembak tersebut.
b. Unsur Melawan Hukum
Dari sudut undang-undang, suatu
perbuatan tidak mempunyai sifat melawan hukum sebelum perbuatan itu diberi
sifat terlarang dengan memuatnya sebagai dilarang dalam peraturan
perundang-undangan, artinya sifat
terlarang itu disebabkan atau bersumber pada dimuatnya dalam peraturan
perundang-undangan.
Berpegang pada pendirian ini,
setiap perbuatan yang yang ditetapkan sebagai dilarang dengan mencantumkannya
dalam peraturan perundang-undangan (menjadi tindak pidana), tanpa melihat
apakah unsur melawan hukum itu dicantumkan ataukah tidak dalam rumusan, maka
rumusan tindak pidana itu sudah mempunyai sifat melawan hukum. Artinya melawan
hukum adalah unsur mutlak dari tindak pidana. Pandangan formil ini juga di anut
oleh Mahkamah Agung sebagaimana terdapat dalam pertimbangan putusannya No. 30
K/Kr./1969 tanggal 6 juni 1970, yang menyatakan bahwa “dalam setiap tindak
pidana selalu ada unsur sifat melawan hukum” dari perbuatan yang dituduhkan
walaupun dalam rumusan delik tidak selalu dicantumkan” (Ahmad Soema di Pradja,
1997:336).
Mencantumkan secara tegas unsur
sifat melawan hukum dalam suatu rumusan tindak pidana didasarkan pada suatu
alasan tertentu, sebagaimana tercermin dalam keterangan risalah penjelasan WvS
Belanda, yaitu adanya kekhawatiran bagi pembentuk undang-undang (Smidt, 1:409),
bahwa jika tidak dimuatnya unsur melawan hukum disitu, akan dapat dipidananya
juga perbuatan lain yang sama, namun tidak bersifat melawan hukum, ia berhak
untuk melakukan itu (JE. Jonkers, 1987:100). Contoh konkret hukum dalam rumusan
(maksud memiliki dengan melawan hukum), orang-orang yag mengambil benda-benda
di toko swalayan sebelum membayar di tempat kasir dapat di pidana pula,
walaupun mengambil benda-benda itu tidak melawan hukum. Artinya jelas bahwa
setiap unsur melawan hukum itu dicantumkan dalam rumusan tindak pidana, sudah
pasti ada perbuatan yang sama tidak bersifat melawan hukum, yang jika unsur
melawan hukum itu tidak dicantumkan dalam rumusan, orang yang berhak melakukan
perbuatan tadi akan dipidana pula, hal ini tidak dikehendaki oleh pembentuk
undang-undang.
c. Unsur Kesalahan
Kesalahan dalam hukum pidana
berhubungan dengan pertanggungan jawab atau mengandung beban pertanggungan jawab
pidana yang terdiri dari kesengajaan dan kelalaian.
1. Kesengajaan
Dalam Memorie van Teolichting (MvT) MvS Belanda ada sedikit keterangan
yang menyangkut mengenai kesengajaan ini, yang mengatakan “tindak pidana pada
umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang
dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui” (Moeljatmo, 1983:171). Dengan
singkat dapat disebut bahwa kesengajaan itu adalah orang yang menghendaki dan
orang yang mengetahui. Setidak-tidaknya kesengajaan itu ada dua, yakni
kesengajaan berupa kehendak dan pengetahuan (yang diketahui).
Menurut
teori kehendak, kesengajaan adalah kehendak yang ditujukan untuk melakukan
perbuatan, artinya untuk mewujudkan perbuatan itu memang telah dikehendaki
sebelum orang itu sungguh-sungguh berbuat.
Jika dihubungkan pada rumusan rumusan tindak pidana yang mengandung unsur perbuatan
yang merupakan akibat sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, maka selain
ditujukan pada perbuatan, kehendak juga harus ditujukan pada perbuatan,
kehendak juga harus ditujukan pada timbulnya akibat itu. Contohnya pada
kejahatan pembunuhan, dimana perbuatan menembak (wujud dari perbuatan
menghilangkan nyawa) memang ia kehendaki, dan kematian korban dari perbuatan
itu juga ia kehendaki.
Menurut
teori pengetahuan, kesengajaan adalah mengenai segala apa yang ia ketahui
tentang perbuatan yang akan dilakukan dan beserta akibatnya.
Jika dihubungkan dengan tindak pidana, kesengajaan itu adalah yang ia ketahui
dan banyangkan sebelum seseorang melakukan perbuatan beserta segala sesuatu
sekitar perbuatan yang akan dilakukannya sebagaimana yang dirumuskan dalam
undang-undang. Misalnya kesengajaan dalam pencurian, yaitu pengetahuann atau
kesadaran dalam diri pelaku terhadap perbuatan mengambil, barang yang di ambil
(milik orang lain), maksudnya mengambil dan kesadaran bahwa perbuatan itu
adalah melawan hukum.
2. Kelalaian
Kelalaian yang sering disebut
dengan tidak sengaja merupakan lawan dari kesenagjaan. Kesengajaan dan
kelalaian merupakan unsur batin (subjektif). Sesuatu mengenai alam batin ini
bisa berupa kehendak, pengetahuan, perasaan, pikiran dan kata-kata lainnya yang
dapat menggambarkan perihal keadaan batin manusia.
Sementara
itu, pandangan objektif meletakkan syarat kelalaian dari suatu perbuatan, yaitu
pada ukuran kebiasaan dan kewajaran yang berlaku dalam masyarakat.
Contohnya, pada malam hari pengemudi bemo melaju di jalan dalam kecepatan yang
di perkenankan, dan ketika itu pengendara sepeda motor tanpa lampu dalam
kecepatan tertentu yang berlawanan arah disebelah kanan bemo, dalam jarak yang sangat dekat,
secara tiba-tiba menyeberang berbelok ke jarak
yang sangat dekat, secara
tiba-tiba menyeberang berbelok ke kanan. Dalam situasi yang demikian, si sopir
bemo harus berbuat untuk menghindari tabrakan. Pilihan perbuatannya, pertama,
ia menginjak rem, kedua ia membanting setir ke kiri, ternyata sepeda motor
bertabrakan juga dengan bagian depan bemo sehingga prang itu terjatuh dan
kakinya patah.
Apakah ada kelalaian pada diri si
sopir bemo tersebut? Untuk menjawab ini, pandangan objektif harus di ukur pada
sopir-sopir bemo yang lainnya dalam situasi
dan kondisi yang sama dengan sopir bemo yang tadi. Dari sudut kewajaran
pada umumnya, apakah mereka akan memilih perbuatann yang sama, yakni menginjak
rem dan membanting setir ke kiri. Jika pilihannya sama, disini tidak ada
kelalaian, tetapi jika memilih sebaliknya, ada kelalaian pada si sopir bemo
tadi.
3. Unsur Akibat Konstitusi
Unsur akibat akibat konstitutif ini
terdapat pada; (1) tindak pidana matriil
atau tindak pidana dimana akibat menjadi syarat selesinya tindak pidana, (2)
tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai syarat pemberat pidana dan
(3) tindak pidana dimana akibat merupakan syarat dipidananya pembuat.
Berbeda dengan yang dimaksud kedua, dalam tindak pidana mareriil (yang pertama),
timbulnya akibat itu bukan untuk memberatkan pertanggungjawaban pidana, dalam
arti berupa alasan pemberat pidana, tetapi menjadi syarat selesaiya tindak
pidana perbedaan lain ialah unsur akibat konstutif pada tindak pidana materiil
adalah unsur pokok tindak pidana, artinya jika unsur ini tidak timbul, tindak
pidananya tidak terjadi, yang terjadi hanyalah percobaannya.
Sementara itu, unsur akibat sebagai
syarat memperberat pidana karena bukan merupakann unsur pokok tindak pidana, artuinya jika
syarat ini tidak timbul, tidak terjadi percobaan, melainkan terjadinya tindak
pidana selesai.
Sementara itu unsur akibat sebagai
syarat dapat dipidananya pembuat ialah tanpa timbulnya akibat itu perbuatan
yang dirumuskan dalam undang-undang itu
tiidak di pidana. Baru dapat dipidana apabila akibat terlarang itu telah
timbul. Conntohnya pasal 288, perbuatan persetubuhan dengan isteriny itu tidak
dapat dipidana dan baru dipidana jika dari persetubuhan itu mendatangkan akibat
luka atau kematian isterinya yang belum waktunya dikawin itu telah timbul.
Sejalan dengan bentuk tindak pidana
dalam bentuk tindak pidana materiil,
jika dillihat dari cara perumusannya, maka akibat konstitutif ini ada dua, yang
sebagai berikut:
1. Akibat konstitutif yang disebutkan secara tegas dalam rumusan tindak
pidana, misalnya: pada penipuan, pemerasan, pengancamann, akibat konstitutif
disebutkan dalam rumusan yakni orang
menyerahkan benda, orang membuat utang dan
orang menghapuskan piutang. Terjadinya persetubuhan merupakan unsur
akibat konstitutif dari perbuatan memaksa.
2. Akibat konstitutif yang tidak secara tegas disebutkan dalam rumusan tindak pidana,
tetapi unsur akibat konstitutif itu sudah dengan sendirinnya ada atau terdapat
dan melekat pada unsur tingkah lakunya, misalnya pada pembunuhan. akibat
konstitutif berupa hilangnya nyawa orang lain sudah dengan sendirinya terdapat
pada perbuatan menghilakan nyawa.
4. Unsur Keadaan yang Menyertai
Unsur keadaan yang menyertai adalah unsur tindak pidana berupa semua
keadaan yang ada dan berlaku dalam mana perbuatan dilakukan. Unsur keadaan
yang menyertai ini dalam kenyataan rumusan tindak pidana dapat berupa sebagai
berikut:
1) Unsur keadan yang menyertai mengenai
cara melakukan perbuatan
Unsur keadaan yang menyertai yang
berupa cara melakukan perbuatan, berarti
cara itu melekat pada perbuatan yang menjadi unsur tindak pidana. Dengan
mencantumkan unsur cara melakukan perbuatan wujud tingkah laku itu menjadi
terbatas. Cara berbuat dapat juga disebut debagai wujud konkret dari tingkah
laku. Penyebutan unsur cara dalam mewujudkan tingkah laku hanyalah terdapat
pada tindak pidana yang unsur tingkah lakunya bersifat abstrak. Misalnya kekerasan yang dan ancaman
keerasan merupakan wujud konkret dari perbuatan memaksa, atau dengan tipu
muslihat, rangkaian kebohongan, atau menggunakan nama palsu dapat disebut wujud
dari perbuatan menggerakan pada penipuan.
2) Unsur cara untuk dapat dilakukannya
perbuatan
Unsur ini agak berbeda dengan yang
disebutkan yang pertama. Unsur cara
untuk dapat dilakukanya perbuatan bukan berupa cara berbuat, melainkan untuk
dapat melakukan perbuatan yang menjadi larangan dalam tindak pidana, terlebih
dahulu harus dipenuhinya cara-cara tertentu agar perbuatan yang menjadi
larangan itu dapat diwujudkan. Agaknya dapat diperjelas dengann contooh
pada pasal 363(1) sub 5, cara-cara
merusak, memotong, memanjat memakai anak
kunci palsu adalah cara-cara yang harus dilakukan sebelum seseorang itu
dapat melakukan perbuatan mengambil (unsur tingkah liku pencurian) objek benda yang
dicuri.
3) Unsur Keadaan Menyertai Mengenai Objek
Tindak Pidana
Keadaan yang menyertai mengenai
objek tindak pidana adalah semua keadaan
yang melekat pada atu mengrenai objek
tidak pidana, misalnya unsur ”milik orang lain” yang melekat pada benda yang menjadi objek pencurian,
penggelapan, perusakan, atau ternak, belum waktunya dikawin, seorang yang belun
dewasa yang baik tingkah lakunya.
4) Unsur Keadaan yang Menyertai Mengenai
Subjek Tindak Pidana
Unsur ini adalah segala keadaan
mengenai diri subjek, tindak pidana,
baik yang bersifat objektif maupun subjektif. Bersifat objektif adalah segala keadaan diluar keadaam batin pelakunya,
misalnya seorang ibu, seorang pejabat, seorang nakhoda, seorangg dokter,
seorang warga Negara RI, dua atau lebih dengan bersekutu, sementara itu, yang bersifat subjekktif adalah keadaan mengenia
batin subjek hukum, misalnya dengan rencana lebih dulu.
5) Unsur Keadaan yang Menyertai Mengenai
Tempat Dilakukannya Tindak Pidana
Unsur
ini adalah mengenai segala keadaan mengennai tempat dilakukannya tempat pidana, misalnya
debuah kediaman atau pekarangan yang
tertutup yang ada kediaman, dimuka umum, berada
di jalan umum, ditempat lalu lintas umum.
6) Keadaan yang Menyertai Mengenai Waktu
Dilakukannya Tindak Pidana
Unsur ini adalah mengenai waktu dilakukannuya tindak pidana
yang dapat berupa syarat memperberat pidana maupun yang menjadi unsur pokok
tindak pidana. Berupa syarat diperberatnya pidana, misalnya waktu malam, kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi, gunung
meletus, dll. Sementara itu, waktu yang menjadi unsur pokok tindak pidana misalnya dalam masa perang, pejabat yang
sedang (waktu) menjadi tugasnya yang sah.
f. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya di
tuntut pidana
Unsur
ini hanya terdapat pada tindak piadana aduan. Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang hanya dapat di tuntut
pidana jika ada pengaduan dari yang berhak mengadu. Pengaduan memiliki
substansi yang sama dengan laporan, yaitu keterangan atau informasi mengenai
telah terjadinya tindak pidana yang di sampaikan kepada pejabat penyelidik atau
penyidik yakni kepolisian, atau dalam hal tindak pidana khusus ke kantor
kejaksaan negri setempat. Perbedaan pengaduan dengan laporan ialah pada
pengaduan hanya : (1) dapat dilakukan oleh yang berhak mengadu saja, yakni
korban kejahatan, atau wakilnya yang syah (lihat pasal 72): dan (2) pengaduan
di perlukan hanya terhadap tindak pidana aduan saja. Pada laporan kedua, syarat
itu tidak di perlukan.
Untuk
dapatnya di tuntut pidana pada tindak pidana aduan, di perlukan syarat adanya
pengaduan dari yang berhak. Syarat pengaduan bagi tindak pidana aduan inilah
yang di maksud dengan unsure syarat tambahan untuk dapatnya di pidana. Syarat
ini ad di sebutkan secara tegas dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan,
misalnya pada perjinaan (284 ayat 2), pada pnghinaan (310-318 jo 319), pada
pencurian dalam kalangan keluarga (362-365 jo 367), tetapi ada yang sekedar
menunjuk pada ketentuan syarat pengaduan pada pasal yang lain, misalnya pada
penggelapan (376 menunjuk 367), atau pengancaman (370 menunjuk 367).
Sementara itu, dalam hal tindak pidana biasa
(dalam arti bukan aduan), agar negara dapat melakukan penuntutan pidana
terhadap si pembuat atau pelakunya, tidak di perlukan baik laporan maupun
pengaduan dari siapapun walaupun dalam praktik sering kali pejabaat penyelidk
atau penyidik kepolisian meras perlu adanya pelaporan, bahkan di buat resmi
sebuah surat yang di sebutnya laporan polisi di singkat LP, yang di tanda
tangani si pelapor dan pejabat kepolisian yang menerima laporan. Fungsi surat
semacam ini hanya sekedar bukti adanya pelaporan belaka, bukan dasar untuk di
lakukannya kegiatan penyelidikan atau penyidika.
g.
Unsur
syarat tambahan untuk memperberat pidana
Mengenai syarat ini telah di singgung
pada saat membicarakan unsur akibat konstitutif di muka. Unsure ini berupa
alasan untuk di perberatnya pidana, dan bukan untuk syarat untuk terjadinya
atau nsyarat selesainya tindak pidana sebagaimana pada tindak pidana materiil.
Unsur
syarat untuk memperberat pidana bukan merupakan unsur pokok tindak pidana
tersebut dapat terjadi tampa adanya unsur ini. Misalnya pada penganiayaan berat
(354), kejahatan ini dapat terjadi (ayat 1) walaupun akibat luka berat tidak
terjadi (ayat 2). Luka berat hanyalah sekedar syarat saja untuk dapat
diperberatnya pidana.
Unsur syarat tambahan untuk
memperberat pidana dapat terletak pada bermacam-macam, ialah:
1. Pada akibat yang timbul setelah
perbuatan dilakukan, misalnya pada contoh di atas, atau contoh lainya, yakni
akibat luka barat atau kematian (111 ayat 2, 288 ayat 2 dan 3, 300 ayat 2 dan
3);
2. Pada objek tindak pidanya, misalnya
penganiayaan pada ibunya, anaknya, istrinya, pejabat yang sedang menjalankan
tugasnya yang sah (356 ke-1 dan ke-2), atau terhadap orang yang bekerja
padanya. (352);
3.
Pada
cara melakukan perbuatan, misalnya dengan tulisan atau gambaran yang
ditempelkan dimuka umum (310 ayat 2), memberikan bahan yang berbahaya bagi
nyawa atau kesehatan (356 ke-3), atau secara tertulis dan dengan syarat
tertentu (336 ayat 2);
4.
Pada
subjek hukum tindak pidana, misalnya dokter, juru obat, bidan (216 jo 346, 347,
348);
5.
Pada
waktu dilakukanya tindak pidana, misalnya belum lewat 2 tahun (216 ayat 3, 303
bis ayat 2, 321 ayat 2);
6.
Pada
berulangnya perbuatan misalnya perbuatan, misalnya pencarian atau kebiasaan
(282 ayat 3, 295 ayat 2, 299 ayat 3, 321 ayat 2)
h. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya
dipidana
Unsur syarat
tambahan untuk dapatnya dipidana adalah unsur keadaan-keadaan tertentu yang
timbul setelah perbuatan dilakukan, yang menentukan untuk dapat dipidananya
perbuatan. Artinya, bila setelah perbuatan dilakukan keadaan ini tidak timbul,
maka terhadap perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum dan karenaya si
pembuat tidak dapat dipidana, sifat melawan hukumnya dan patutnya dipidana
perbuatan itu sepenuhnya digantungkan pada timbulnya unsur ini. Nilai bahayanya
bagi kepentingan hukum dari perbuatan itu terletak pada timbulnya unsur syarat
tambahan, bukan semata-mata pada perbuatan.
Walaupun unsur ini sama dengan unsur
akibat kostitutif dalam hal timbulnya setelah dilakukan perbuatan, tetapi
berbeda secara prinsip. Unsur akibat konstitutif harus ada hubungan kausal
antara perbuatan yang menjadi larangan dengan akibatnya, seperti perbuatan memukul dengan kayu dengan
akibat patah tanganya korban. Sementara itu pada unsur syarat tambahan untuk
dapat dipidana tidak memerlukan hubungan kausal yang demikian. Misalnya unsur
“pecah perang” tidak ada hubungan kausal atau bukan berupa akibat dari masuknya
seseorang warga negara RI menjadi
anggota tentara asing dari pasal Perbedaan yang lain ialah apabila akibat
kostitutif tidak timbul setelah dilakukanya perbuatan, tindak pidananya tidak
terjad, yang terjadi hanyalah percobaannya. Misalnya niat membunuh dengan telah
melakukan perbuatan membacok batang leher korban, tetapi tidak meimbulkan
akibat kematian, maka pembunuhan tidak terjadi, yang terjadi adalah percobaan
pembunuhan (338 jo53). Akan tetapi, jika unsur syarat tambahan tidak timbul
setelah dilakukan perbuatan (aktif maupun pasif), maka tindak pidana itu tidak
terjadir45itu tidak terjadi. Misalnya bila tidak terjadi “kejahatan yang
direncanakan”, tindak pidana tidak melapor sebagaimana dirumuskan pada pasal164
tidak terjadi , demikian juga tidak terjadi percobaannya.
i.
Unsur
Objek Hukum Tindak Pidana
Sebagaimana dibagian muka telah
diterangkan bahwa di dalam rumusan tindak pidana selalu dirumuskan unsure
tingkah laku atau perbuatan. Unsure ini selalu terkait dengan unsure objek
tindak pidana. Kedua- duanya menjadi suatu kesatuan yang tidak terpisahkan ,
dan menjadi unsure esensialia atau mutlak tindak pidana. Karena tingkah laku
selalu diarahkan pada objek tindak pidana.
Unsur objek hukum seringkali diletakkan
di belakang / sesudah unsure perbuatan, misalnya unsure menghilangkan nyawa
orang lain pada pembunuhan (338). Menghilangkan merupakan unsure perbuatan dan
nyawa orang lain adalah unsure objek tindak pidana.akan tetapi, ada kalanya
unsur objek tindak pidana tidak diletakkan persis sesudah unsure perbuatan,
artinya tidak menyatu. Misalnya pada kejahatan penipuan (378), pemerasa (368),
pengancaman (369). Pada penipuan, unsure perbuatan adalah ”menggerakan” setelah
unsur menggerakkan diletakkan unsur “orang lain”. Unsure orang lain ini
bukanlan unsure objek penipuan, melainkan ada unsure objek penipuan yaitu (1)
benda(menyerahkan benda), (2) utang(perjanjian) yang terdiri dari membuat utang
dan menghapuskan piutang. pada pemerasan dan pengancaman, unsure perbuatan
adalah memaksa, dan unsure objek adalah sama dengan penipuan tadi. Antara pemerasan
dan pengancaman hanya berbeda mengenai unsur cara perbuatan memaksa di lakukan.
Unsur mengenai objek pada dasarnya adalh
unsure kepentingan hukum (rechtsbelang) yang harus di lindungi dan di
pertahankan oleh rumusan tindak pidana. Dalam setiap rumusan tindak pidana
selalu ada kepentingan hukum yang di lindungi, suatu jiwa dari rumusan tindak
pidana. Memang di dalam rumusan tindak pidana terkandung dua hal yang saling
bertolak belakang, seperti pedang bermata dua. Mata pedang yang satu melindungi
kepentingan hukum orang yang di korban dan mata pedang yang satu menyerang
kepentingan hukum orang yakni si pembuat tindak pidana dengan pidana.
Contohnya, pada kejahatan terhadap harta benda, misalnya pencurian (362) atau
kejahatan terhadap nyawa orang misalnya pembunuhan (338). Unsur objek pencurian
adalah benda milik orang lain pada pembunuhan adalah nyawa orang lain. Pada
rumusan pencurian oleh pembentuk undang-undang telah di lakukan perlindungan
hukum terhadap kepentingan hukum atas benda milik orang lain, perlindungan
hukum terhadap kepentingan hukum atas benda milik orang lain, perlindungan
hukum atas hak yang melekat pada benda-benda yang menjadi milik setiap orang.
demikian juga pada rumusan kejahatan pembunuhan, kepentingan hukum yang
melindungi yang terkandung dalam rumusan pasal 338 adalah hak hidup setiap
orang. Namun, dalam rumusan tindak pidana tersirat hak negara untuk menyerang
kepentingan hukum si pembuat yakni secara tersurat dengan pidana tertentu yang
dapat di jatuhkan oleh negara.
Kepentingan hukum yang di lindungi yang
selalu ada pad setiap rumusan tindak pidana, kadang sengan mudah dapat di
ketahui karena secara tegas tersurat dalam rumusan. Akan tetapi, adakalanya
tidak dengan mudah dapat di baca secara tersurat, karena unsure kepentingan
hukum yang di lindungi terdapat secara tersirat, misalnya pada pasal 169 atau
pasal 351. Pada pasal 169 atau pasal 351. Pada pasal 169 tentang kejahatan
turut serta dalam perkumpulan yang bertujuan melakukan kejahatan. Unsure
perbuatan adalah “turut serta”, dan
objek tindak pidana adalah sekumpulan yang bertujuan melakukan
kejahatan. Kepentingan hukum yang di lindungi oleh rumusan pasal 169 bukan
berupa kebeasan untuk masuk organisasi yang didirikan dengan tujuan untuk
melakukan kejahatan, akan tetapi perlindungan
hukum pada masyarakat (ketertiban umum) dari kejahatan yang
terorganisasi, dengan berlatar belakang penanggulangan secara dini (preventif)
terhadap kejahatan semacam itu, misalnya terorisme atau narkotika.
Sementara itu, pada kejahatan
penganiayaan (351), tidak dicantumkannya unsure mengenai tingkah laku, hanya
berupa perkecualian saja, bukan berarti dalam penganiayaan tidak terdapat
unsure perbuatan. Pada dasarnya secara tersirat didalam kualifikasi
penganiayaan (mishandeling) telah terdapat unsure perbuatan yakni “menganiaya”,
yang artinya melakukan suatu perbuatan terhadap tubuh orang yang menimbulkan
rasa sakit pada tubuh orang. Tubuh orang adalah objek kejahatan. Ini artinya di
dalam rumusan pasal 351 terdapat perlindungan hukum terhadap fisik orang dari
perbuatan setiap orang yang menyerang atau menyakiti pisik orang lain.
j.
Unsur
kualitas subjek hukum tindak pidana
Di bentuknya rumusan tindak pidana pada
umumnya di tujukan pada setiap orang
artinya di buat untuk diberlakukan pada semua orang. Rumusan tindak
pidana seperti ini dimulai dengan kata “barangsiapa” (bij die), atau pada
tindak khusus kadang dengan merumuskan “setiap orang”. Tetapi ada beberapa
tindak pidana dirumuskan dengan tujuan hanya di nberlakukan pada orang tertentu
saja.dalam tindak pidana yang di maksudkan terakhir ini, dalam rumusan secara
tegas kepada siapa norma hukum tindak
pidana diberlakukan. Kepada orang-orang tertentu yang mempunyai kualitas atau yang memenuhi
kualitas tertentu itulah yang dapat di berlakukan rumusan rumusan tindak
pidana. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana adalah unsur kepada siapa rumusan tindak pidan itu
ditujukan tersebut. Unsure kualitas subjek hukum tindak
pidana selalu merupakan unsur tindak pidana yang bersifat objektif. Misalnya,
kualitas pegawai negeri pada semua kejahatan jabatan (bab XXVIII); orang yang
karena terpaksa di beri barang untuk disimpan, wali, pengampu, wasi, pengurus
yayasan (375); pemegang konosemen (383 bis); orang dewasa (292); seorang dokter
(267), seorang ibu (308, 341, 342), dan masih banyak lagi.
k.
Unsur
syarat tambahan memperingan pidana
Unsur ini bukan berupa unsur pokok yang membentuk
tindak pidana, sama dengan unsur syarat tambahan lainnya, seperti unsur syarat
tambahan untuk memperberat pidana. Unsure ini di letakkan pada rumusan suatu
tindak pidana tertentu yang sebelumnya telah di rumuskan. Ada dua macam unsur
syarat tambahan untuk memperingan pidana, yaitu unsure syarat tambahan yang
bersifat objektif dan unsure syarat tambahan yang bersifat subjektif.
Bersifat objektif, misalnya terletak pada
nilai atau harga objek kejahatan secara ekonomis pada pencurian ringan (364),
penggelapan ringan (373), penipuan ringan (379) atau perusakan benda ringan
(407), apabila nilai ekonomis objek kejahatan adalah kurang dari Rp 250, dan
objek tersebut bukan berupa ternak . sifat ringannya tindak pidana dapat
pula terletak pada akibat tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjaklankan pekerjaan jabatan atau
pencaharian tertentu pada penganiayaan ringan (352).
Bersifat subjektif, artinya faktor faktor yang
meringankan itu terletak pada sikap batin si pembuatnya, ialah apabila tindak
pidana dilakukan karena ketidaksngajaan atau culpa, misalnya “karena
kealpaannya” yang terdapt dalm rumusan pasal 409 sebagai unsure yang
meringankan dari kejahatan pasal 408.
B.
ANALISIS MATERI
Dari beberapa penjabaran mengenai
istilah dan pengertian tindak pidana diatas, maka dapat disarikan bahwa yang
dimaksud dengan tindak pidana tersebut adalah, suatu perbuatan atau tindakan
seseorang yang melanggar hukum yang otomatis dikenakan sanksi sesuai dengan
aturan yang berlaku, dan tingkat kesalahan yang ia perbuat. Sedangkan
Unsur-unsur tindak pidana di bedakan menjadi dua sudut pandang yaitu dari sudut
teoritis dan dari sudut undang-undang. Sudut teoritis yaitu bahwa tindak pidana
itu adalah perbuatan manusia yang dilarang, dimuat dalam undang-undang dan di
ancam pidana bagi yang melakukannya dan menurut undang-undang ada 11(sebelas)
unsur, dari 11 unsur itu diantaranya 3 unsur yaitu kesalahan dan melawan hukum
yang termasuk unsur subjektif, sedangkan selebihnya berupa unsur objektif.
C.
KESIMPULAN
Istilah-istilah yang pernah
digunakan, baik dalam perundang –undangan yang ada maupun dalam berbagai
literature hokum diantaranya yaitu tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggara pidana, perbuatan
yang boleh dihukum, dan perbuatan pidana. Menurut Moeljatno pengertian tindak
pidana yaitu kelakuan dan kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan dan sebagai
perbuatan pidana yang tidak dihubungkan dengan kekuasaan yang merupakan
pertanggung jawaban pidana pada orang yang melakukan perbuatan pidananya. Sedangkan
Unsur-unsur tindak pidana di bedakan menjadi dua sudut pandang yaitu dari sudut
teoritis yang dikemukakan oleh Moeljatno, R.Tresna, Vos dan jokers dan dari
sudut undang-undang terdapat sebelas unsur yaitu Unsur tingkah laku, Unsur melawan hokum, Unsur
kesalahan, Unsur akibat konstitutif, Unsur keadaan yang menyertai, Unsur syarat
tambahan untuk dapatnya dituntut pidana, Unsur syarat tambahan untuk
memperberat pidana, Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana, Unsur objek
hukum tindak pidana, Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana, dan Unsur
syarat tambahan untuk memperingan pidana.
DAFTAR PUSTAKA
Chazawi,Adami.
2007. Pelajaran Hukum PidanaI. Jakarta:RajaGrafindo
Persada.
http://sunawekla.
Blogspot.com/2012/09/ istilah pidana dan artinya. Html
R Tresna. 1959. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta:Tiara
Limeted
Lamintang, 1997.
Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung:Citra
Aditya Bakti.
0 Response to " Istilah Tindak Pidana"
Post a Comment