BAB I PENDAHULUAN
Sejak merdeka, Indonesia menyatakan dirinya bukan sebagai negara monarkhi, baik monarki absolut maupun monarkhi konstitusional, karena tidak mengenal raja sebagai pemimpin negara tertinggi di negeri ini. Kita juga menolak disebut sebagai negara teokrasi, karena tidak ada pengakuan secara tersurat bahwa kita mengakui kepemimpinan berdasarkan aturan agama apapun. Kita dengan tegas selalu menempatkan diri dalam kelompok negara dengan sistem pemerintahan demokrasi konstitusional sehingga dalam menyususn suatu konstitusi atau aturan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa ada membedaan tingkatan agama yang paling dominan. Dalam negara yang demokrasi konstitusional yaitu dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, segalanya ditentukan oleh rakyat. Pimpinan dipilih dari antara rakyatnya, pemilihan dilakukan oleh rakyat, dan dia mengabdi untuk rakyat. Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah mempedomani ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh rakyatnya dan ia akan dinilai serta dimintai pertanggungjawaban oleh rakyat menggunakan ukuran yang dibuat oleh rakyat itu sendiri. Pemimpin bisa bergantian dengan anggota masyarakat yang lainnya sesuai mekanisme yang dibuat oleh rakyat tanpa diskriminasi agama, jenis kelamin, dan lain-lain. Setiap individu dalam masyarakat memiliki hak yang sama secara individual dan dihormati oleh negara tanpa kecuali. Tidak terdapat pembedaan dalam mengakomodasi kebutuhan rakyatnya, tidak perlu mayoritas-minoritas, besar-kecil, kelas atas – kelas bawah, dan sebagainya. Dalam makalah ini kami akan membahas tentang klasifikasi konstitusi dan praktik pelaksanaan Demokrasi konstitusional dengan konstitusi teokratis dalam berbagai kasus.
BAB II KAJIAN PUSTAKA KLASIFIKASI KONSTITUSI
Klasifikasikan konstitusi yaitu sebagai berikut:
1. Konstitusi fleksibel dan konstitusi kaku (rigid)
2. Konstitusi derajat tinggi dan bukan konstitusi derajat tinggi.
3. Konstitusi kesatuan dan konstitusi serikat.
4. Konstitusi Kerajaan dan Konstitusi Demokrasi
5. Konstitusi sistem pemerintahan Republik dan konstitusi sistem pemerintahan Perlementer
6. Konstitusi Teokrat atau Teokrasi (Kedaulatan Tuhan)
7. Konstitusi Otokratif .
1. KONSTITUSI FLEKSIBEL DAN KONSTITUSI KAKU (RIGID)
A. Konstitusi Fleksibel Yang dimaksud dengan konstitusi fleksibel adalah konstitusi yang mengandung ciri-ciri pokok sebagai berikut: a) elastis, karena dapat menyesuaikan dirinya dengan mudah; b) diumumkan dan diubah dengan cara yang sama seperti undang-undang. . B. Konstitusi yang BersIfat Kaku (rigid) Hal ini berbeda dengan konstitusi kaku (rigid), yang mempunyai ciri-ciri pokok sebagai berikut; a) mempunyai kedudukan dan derajat yang lebih tinggi dari peraturan perundang-undangan yang lain; b) hanya dapat diubah dengan cara yang khusus dan istimewa Sebelum UUD 1945 di amandemen sebanyak empat kali, persyaratan yang ditetapkan untuk mengubah UUD 1945 adalah “cukup berat”. Hal ini bisa dilihat dari bunyi pasal 37. Ada dua syarat yang ditentukan dalam pasal yaitu: 1) syarat kehadiran atau kuorum: sekurang-kurangnya 2/3 dari seluruh jumlah anggota MPR harus hadir; 2) syarat sahnya keputusan: sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah yang hadir harus menyetujui. Setelah melalui proses amandemen, Undang-Undang Dasar 1945 tergolong konstitusi yang semakain rijid, karena selain tata cara perubahannya yang tergolong sulit, juga dibutuhkan suatu prosedur khusus . Melihat realitas dan kondisi Undang-Undang Dasar 1945, sekalipun termasuk katagori konstitusi yang sulit dilakukan perubahan tetapi apabila dicermati, terdapat peluang untuk melakukan suatu perubahan terhadap Undang-Undang Dasar meskipun harus menempuh jalan yang berat.
2. KONSTITUSI DERAJAT TINGGI DAN KONSTITUSI RENDAH
A. Konstitusi Derajat Tinggi Yang dimaksud konstitusi derajat tinggi adalah konstitusi yang memilki kedudukan tertinggi dalam negara. Seperti diketahui dalam setiap negara terdapat selalu terdapat berbagai tingkat perundang-undangan baik dilihat dari isinya maupun ditinjau dari bentuknya. Konstitusi termasuk dalam kategori derajat tinggi apabila dilihat dari bentuknya berada di atas peraturan perundang-undangan lainnya. Juga syarat untuk mengubah konstitusi tersebut berbeda, dalam arti lebih berat dibandignkan dengan yang lain. Contoh Konstitusi Derajat Tinggi adalah Dalam derajat kedudukannya maka dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 merupakan konstitusi yang memiliki derajat tinggi. Dalam arti bahwa Undang-Undang Dasar 1945 merupakan peraturan perundang-undangan tertinggi yang dijadikan pedoman dalam membuat peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. B. Konstitusi Rendah Konstitusi bukan rendah adalah suatu konstitusi yang tidak mempunyai kedudukan serta derajat seperti konstitusi derajat tinggi. Persyaratan untuk mengubah konsitusi ini sama dengan persyaratan yang dipakai untuk mengubah peraturan-peraturan yang lain, umpamnya undang-undang.
1. Konstitusi fleksibel dan konstitusi kaku (rigid)
2. Konstitusi derajat tinggi dan bukan konstitusi derajat tinggi.
3. Konstitusi kesatuan dan konstitusi serikat.
4. Konstitusi Kerajaan dan Konstitusi Demokrasi
5. Konstitusi sistem pemerintahan Republik dan konstitusi sistem pemerintahan Perlementer
6. Konstitusi Teokrat atau Teokrasi (Kedaulatan Tuhan)
7. Konstitusi Otokratif .
1. KONSTITUSI FLEKSIBEL DAN KONSTITUSI KAKU (RIGID)
A. Konstitusi Fleksibel Yang dimaksud dengan konstitusi fleksibel adalah konstitusi yang mengandung ciri-ciri pokok sebagai berikut: a) elastis, karena dapat menyesuaikan dirinya dengan mudah; b) diumumkan dan diubah dengan cara yang sama seperti undang-undang. . B. Konstitusi yang BersIfat Kaku (rigid) Hal ini berbeda dengan konstitusi kaku (rigid), yang mempunyai ciri-ciri pokok sebagai berikut; a) mempunyai kedudukan dan derajat yang lebih tinggi dari peraturan perundang-undangan yang lain; b) hanya dapat diubah dengan cara yang khusus dan istimewa Sebelum UUD 1945 di amandemen sebanyak empat kali, persyaratan yang ditetapkan untuk mengubah UUD 1945 adalah “cukup berat”. Hal ini bisa dilihat dari bunyi pasal 37. Ada dua syarat yang ditentukan dalam pasal yaitu: 1) syarat kehadiran atau kuorum: sekurang-kurangnya 2/3 dari seluruh jumlah anggota MPR harus hadir; 2) syarat sahnya keputusan: sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah yang hadir harus menyetujui. Setelah melalui proses amandemen, Undang-Undang Dasar 1945 tergolong konstitusi yang semakain rijid, karena selain tata cara perubahannya yang tergolong sulit, juga dibutuhkan suatu prosedur khusus . Melihat realitas dan kondisi Undang-Undang Dasar 1945, sekalipun termasuk katagori konstitusi yang sulit dilakukan perubahan tetapi apabila dicermati, terdapat peluang untuk melakukan suatu perubahan terhadap Undang-Undang Dasar meskipun harus menempuh jalan yang berat.
2. KONSTITUSI DERAJAT TINGGI DAN KONSTITUSI RENDAH
A. Konstitusi Derajat Tinggi Yang dimaksud konstitusi derajat tinggi adalah konstitusi yang memilki kedudukan tertinggi dalam negara. Seperti diketahui dalam setiap negara terdapat selalu terdapat berbagai tingkat perundang-undangan baik dilihat dari isinya maupun ditinjau dari bentuknya. Konstitusi termasuk dalam kategori derajat tinggi apabila dilihat dari bentuknya berada di atas peraturan perundang-undangan lainnya. Juga syarat untuk mengubah konstitusi tersebut berbeda, dalam arti lebih berat dibandignkan dengan yang lain. Contoh Konstitusi Derajat Tinggi adalah Dalam derajat kedudukannya maka dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 merupakan konstitusi yang memiliki derajat tinggi. Dalam arti bahwa Undang-Undang Dasar 1945 merupakan peraturan perundang-undangan tertinggi yang dijadikan pedoman dalam membuat peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. B. Konstitusi Rendah Konstitusi bukan rendah adalah suatu konstitusi yang tidak mempunyai kedudukan serta derajat seperti konstitusi derajat tinggi. Persyaratan untuk mengubah konsitusi ini sama dengan persyaratan yang dipakai untuk mengubah peraturan-peraturan yang lain, umpamnya undang-undang.
3. KONSTITUSI KESATUAN DAN KONSTITUSI SERIKAT
Klasifikasi konstitusi atas serikat dan kesatuan ini berhubungan dengan bentuk negara. Seperti kita ketahui dikenal bentuk negara serikat dan negara keasatuan. Dalam negara serikat terdapat pembagian kekuasaan antara pemerintah negara serikat dengan pemerintah negara-negara bagian. Pembangian kekuasaan itu diatur dalam konstitusinya. Dalam negara yang berbentuk kesatuan, pembagian kekuasaan itu tidak dijumpai, karena seluruh kekuasaan dalam negara berada di tangan pemerintah pusat. Walaupun demikian hali itu tidak berarti bahwa keseluruhan kekuasaan berada di tangan pemerintah pusat, karena ada kemungkinan mengadakan dekonsetrasi ke daaerah lain dan hal ini tidak diatur dalam konstitusi. Lain halnya dengan negara kesatuan yang bersistem desentralisasi.
Dalam konstitusinya terdapat pemencaran kekuasaan tersebut. Konstitusi Indonesia Tergolong Konstitusi Kesatuan Dalam UUD 1945 jelas dinyatakan dalam Bab I pasal 1 ayat (1) tentang Bentuk Dan Kedaulatan yang berbunyi: “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik” Dapat dinyatakan bahwa kesatuan adalah bentuk negara dan republik adalah bentuk pemerintahan. Jelasnya dalam pasal tersebut dikatakan bahwa bangsa Indonesia tidak mengakui suatu wilayah dalam negara yang memiliki sifat negara. Dalam arti bahwa Indonesia hanya memiliki satu undang-undang dasar. 4. konstitusi kerajan dan konstitusi demokrasi A. Monarki konstitusional Monarki konstitusional adalah sejenis monarki yang didirikan di bawah sistem konstitusional yang mengakui Raja, Ratu, atau Kaisar sebagai kepala negara. Monarki konstitusional yang modern biasanya menggunakan konsep trias politica, atau politik tiga serangkai. Ini berarti raja adalah hanya ketua simbolis cabang eksekutif. Jika seorang raja mempunyai kekuasaan pemerintahan yang penuh, ia disebut monarki mutlak atau monarki absolut. Saat ini, monarki konstitusional lazimnya digabung dengan demokrasi representatif. Oleh karena itu, kerajaan masih di bawah kekuasaan rakyat tetapi raja mempunyai peranan tradisional di dalam sebuah negara. Pada hakikatnya sang perdana menteri, pemimpin yang dipilih oleh rakyat, yang memerintah negara dan bukan Raja. Namun demikian, terdapat juga raja yang bergabung dengan kerajaan yang tidak demokratis. Misalnya, sewaktu Perang Dunia II, Kaisar Jepang bergabung dengan kerajaan tentara yang dipimpin seorang diktator. Beberapa sistem monarki konstitusional mengikuti keturunan; manakala yang lain melalui sistem demokratis seperti di Malaysia di mana Yang di-Pertuan Agong dipilih oleh Majelis Raja-Raja setiap lima tahun. B. Demokrasi konstitusional Demokrasi Konstitusional sendiri memiliki ciri tersendiri, yaitu terbatasnya kekuasaan pemerintah serta tidak dibenarkannya tindakan sewenang-wenang pemerintah kepada masyarakat. Kedua hal itu termaktub secara gamblang dalam konstitusi, yang menjadi acuan bagi pemerintah. Ciri tersebut memiliki nafas yang sama dengan pernyataan Lord Acton, “power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely” (manusia yang memiliki kekuasaan cenderung akan menyalahgunakannya, dan apabila manusia memiliki kekuasaan yang absolut atau tidak terbatas, tentunya akan disalahgunakan”. Pemisahan dan/ pembagian kekuasaan, sehingga kekuasaan tidak terpusat hanya pada satu lembaga atau individu, dalam prakteknya di Indonesia dapat dilihat melalui tiga lembaga negara utama yang berperan dalam menjalankan roda pemerintahan, yaitu eksekutif (presiden), legislatif (DPR dan MPR) serta yudikatif (MA). Sama halnya dengan sang induk, demokrasi konstitusional juga berkembang merespon pada tuntutan zamannya. Setelah pada abad 19 menitikberatkan pada penegakan hukum serta HAM, dalam perkembangannya dewasa ini, terdapat syarat-syarat bagi penyelenggaraan demokrasi konstitusional, yaitu: 1. perlindungan konstitusionil, yang mencakup perlindungan terhadap hak-hak individu serta prosedur untuk memperoleh perlindung tersebut 2. badan kehakiman yang bebas dan tidak 3. pemilihan umum yang bebas 4. kebebasan untuk menyatakan pendapat 5. kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi 6. pendidikan kewarganegaraan (civic education). Dalam proses implementasinya, syarat-syarat tersebut termaktub dalam batang tubuh UUD 1945. Di sisi lain, demokrasi sendiri sudah tidak lagi terbatas dalam konteks sistem pemerintahan. Namun juga sudah masuk ke ranah politik, yaitu sistem politik yang tercermin utamanya dalam poin 3. Dalam proses implementasinya di Indonesia, pemilu presiden diadakan secara langsung, di mana masyarakat berhak untuk memilih langsung presidennya untuk satu periode jabatan selama 5 tahun. Hal tersebut beriringan dengan Pembukaan UUD 1945 serta Pancasila sila ke-4, yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.
5. KONSTITUSI SISTEM PEMERINTAHAN PERLEMENTER DAN KONSTITUSI REPUBLIK
A. Konstitusi Pemerintahan parlementer Sistem parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan di mana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya. Berbeda dengan sistem presidensiil, di mana sistem parlemen dapat memiliki seorang presiden dan seorang perdana menteri, yang berwenang terhadap jalannya pemerintahan. Dalam presidensiil, presiden berwenang terhadap jalannya pemerintahan, namun dalam sistem parlementer presiden hanya menjadi simbol kepala negara saja. Sistem parlementer dibedakan oleh cabang eksekutif pemerintah tergantung dari dukungan secara langsung atau tidak langsung cabang legislatif, atau parlemen, sering dikemukakan melalui sebuah veto keyakinan. Oleh karena itu, tidak ada pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang eksekutif dan cabang legislatif, menuju kritikan dari beberapa yang merasa kurangnya pemeriksaan dan keseimbangan yang ditemukan dalam sebuah republik kepresidenan. Kekurangannya adalah dia sering mengarah ke pemerintahan yang kurang stabil, seperti dalam Republik Weimar Jerman dan Republik Keempat Perancis. Sistem parlemen biasanya memiliki pembedaan yang jelas antara kepala pemerintahan dan kepala negara, dengan kepala pemerintahan adalah perdana menteri, dan kepala negara ditunjuk sebagai dengan kekuasaan sedikit atau seremonial. Namun beberapa sistem parlemen juga memiliki seorang presiden terpilih dengan banyak kuasa sebagai kepala negara, memberikan keseimbangan dalam sistem ini. Negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer adalah Inggris, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura dan sebagainya B. Konstitusi Pemerintahan Republik Republik adalah sebuah negara di mana tampuk pemerintahan akhirnya bercabang dari rakyat, bukan dari prinsip keturunan bangsawan dan sering dipimpin atau dikepalai oleh seorang presiden Konstitusi Republik Indonesia Serikat, atau lebih dikenal dengan atau Konstitusi RIS adalah konstitusi yang berlaku di Republik Indonesia Serikat sejak tanggal 27 Desember 1949 (yakni tanggal diakuinya kedaulatan Indonesia dalam bentuk RIS) hingga diubahnya kembali bentuk negara federal RIS menjadi negara kesatuan RI pada tanggal 17 Agustus 1950. Sejak tanggal 17 Agustus 1950, konstitusi yang berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, atau dikenal dengan sebutan UUDS 1950 Konstitusi Republik Indonesia Serikat disahkan sebagai undang-undang dasar negara berkaitan dengan pembentukan Republik Indonesia Serikat oleh hasil Konfrensi Meja Bundar, sejak 27 Desember 1949 berdasarkan poin pertama dan kedua. Pemberlakuan Konstitusi Republik Indonesia Serikat tidak serta merta mencabut Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena perbedaan ruang lingkup penerapan. Konstitusi Republik Indonesia Serikat berlaku sampai dengan tanggal 17 Agustus 1950 di Indonesia berlaku UUDS 1950 berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 pada Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sosial Republik Indonesia, Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta. Konstitusi Republik Indonesia Serikat terdiri atas mukadimah, isi dan piagam persetujuan. Isi Konsitusi Republik Indonesia Serikat terdiri atas enam bab dan seratus sembilan puluh tujuh pasal. Mukadimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat berisi secara ringkas pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang menekankan aspek kesatuan, kedaulatan, ketuhanan dan filosofi negara Pancasila. 6. KONSTITUSI TEOKRAT
Istilah teokrasi diserap dari bahasa Yunani, theos (tuhan) dan kratein (memerintah), yang terjemahan bebasnya: pemerintahan tuhan. Kata demokrasi juga dari bahasa Yunani, demos (rakyat) dan kratein, dan diartikan sebagai: pemerintahan rakyat. Dalam sistim pemerintahan teokrasi, negara teokrasi dipimpin oleh seseorang atau sekelompok orang dari golongan pemimpin agama dan menjalankan ketentuan agama yang diakui negara dalam pemerintahannya. Pada beberapa negara tertentu, pemimpin negara ini malah dianggap sebagai wakil tuhan atau bahkan terkadang jelmaan tuhan. Konsekwensinya, pemimpin negara adalah dari kalangan agamawan. Ketentuan yang dijalankan adalah amanah tuhan yang tersurat dalam kitab suci dan diperuntukan untuk rakyat. Sehingga rakyat tidak lebih sebagai kelompok penderita dan menerima apa adanya segala ketentuan dan kebijakan dalam negara. Karena undang-undangnya dari tuhan, maka sudah sewajarnya bila peraturan-peraturannya ditujukan hanya untuk kalangan warga negara yang percaya pada kitab suci agama tersebut. Contohnya negara yang pernah menggunakan konstitusi teokratis adalah Belanda dan Swiss pada masa pemerintahan pengikut Calvin. Pada masa sekarang negara yang menganut paham ini adalah Tibet.
7. KONSTITUSI OTOKRATIF
Otokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya dipegang oleh satu orang. Istilah ini diturunkan dari bahasa Yunani autokratĂ´r yang secara harfiah berarti "berkuasa sendiri" atau "penguasa tunggal". Sehingga dalam menyusun konstitusi aturan aturan dalam menjalankan pemerintahannnya, pemerintah yang berkuasa lebih menguntungkan diri sendiri sehingga pemerintah yang berkuasa hanya itu–itu saja dalam artian bahwa dalam suatu Negara hanya di pimpin oleh seorang pemimpin saja dalam jangka waktu yang panjang.
BAB III PERMASALAHAN
Dalam konstitusinya terdapat pemencaran kekuasaan tersebut. Konstitusi Indonesia Tergolong Konstitusi Kesatuan Dalam UUD 1945 jelas dinyatakan dalam Bab I pasal 1 ayat (1) tentang Bentuk Dan Kedaulatan yang berbunyi: “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik” Dapat dinyatakan bahwa kesatuan adalah bentuk negara dan republik adalah bentuk pemerintahan. Jelasnya dalam pasal tersebut dikatakan bahwa bangsa Indonesia tidak mengakui suatu wilayah dalam negara yang memiliki sifat negara. Dalam arti bahwa Indonesia hanya memiliki satu undang-undang dasar. 4. konstitusi kerajan dan konstitusi demokrasi A. Monarki konstitusional Monarki konstitusional adalah sejenis monarki yang didirikan di bawah sistem konstitusional yang mengakui Raja, Ratu, atau Kaisar sebagai kepala negara. Monarki konstitusional yang modern biasanya menggunakan konsep trias politica, atau politik tiga serangkai. Ini berarti raja adalah hanya ketua simbolis cabang eksekutif. Jika seorang raja mempunyai kekuasaan pemerintahan yang penuh, ia disebut monarki mutlak atau monarki absolut. Saat ini, monarki konstitusional lazimnya digabung dengan demokrasi representatif. Oleh karena itu, kerajaan masih di bawah kekuasaan rakyat tetapi raja mempunyai peranan tradisional di dalam sebuah negara. Pada hakikatnya sang perdana menteri, pemimpin yang dipilih oleh rakyat, yang memerintah negara dan bukan Raja. Namun demikian, terdapat juga raja yang bergabung dengan kerajaan yang tidak demokratis. Misalnya, sewaktu Perang Dunia II, Kaisar Jepang bergabung dengan kerajaan tentara yang dipimpin seorang diktator. Beberapa sistem monarki konstitusional mengikuti keturunan; manakala yang lain melalui sistem demokratis seperti di Malaysia di mana Yang di-Pertuan Agong dipilih oleh Majelis Raja-Raja setiap lima tahun. B. Demokrasi konstitusional Demokrasi Konstitusional sendiri memiliki ciri tersendiri, yaitu terbatasnya kekuasaan pemerintah serta tidak dibenarkannya tindakan sewenang-wenang pemerintah kepada masyarakat. Kedua hal itu termaktub secara gamblang dalam konstitusi, yang menjadi acuan bagi pemerintah. Ciri tersebut memiliki nafas yang sama dengan pernyataan Lord Acton, “power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely” (manusia yang memiliki kekuasaan cenderung akan menyalahgunakannya, dan apabila manusia memiliki kekuasaan yang absolut atau tidak terbatas, tentunya akan disalahgunakan”. Pemisahan dan/ pembagian kekuasaan, sehingga kekuasaan tidak terpusat hanya pada satu lembaga atau individu, dalam prakteknya di Indonesia dapat dilihat melalui tiga lembaga negara utama yang berperan dalam menjalankan roda pemerintahan, yaitu eksekutif (presiden), legislatif (DPR dan MPR) serta yudikatif (MA). Sama halnya dengan sang induk, demokrasi konstitusional juga berkembang merespon pada tuntutan zamannya. Setelah pada abad 19 menitikberatkan pada penegakan hukum serta HAM, dalam perkembangannya dewasa ini, terdapat syarat-syarat bagi penyelenggaraan demokrasi konstitusional, yaitu: 1. perlindungan konstitusionil, yang mencakup perlindungan terhadap hak-hak individu serta prosedur untuk memperoleh perlindung tersebut 2. badan kehakiman yang bebas dan tidak 3. pemilihan umum yang bebas 4. kebebasan untuk menyatakan pendapat 5. kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi 6. pendidikan kewarganegaraan (civic education). Dalam proses implementasinya, syarat-syarat tersebut termaktub dalam batang tubuh UUD 1945. Di sisi lain, demokrasi sendiri sudah tidak lagi terbatas dalam konteks sistem pemerintahan. Namun juga sudah masuk ke ranah politik, yaitu sistem politik yang tercermin utamanya dalam poin 3. Dalam proses implementasinya di Indonesia, pemilu presiden diadakan secara langsung, di mana masyarakat berhak untuk memilih langsung presidennya untuk satu periode jabatan selama 5 tahun. Hal tersebut beriringan dengan Pembukaan UUD 1945 serta Pancasila sila ke-4, yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.
5. KONSTITUSI SISTEM PEMERINTAHAN PERLEMENTER DAN KONSTITUSI REPUBLIK
A. Konstitusi Pemerintahan parlementer Sistem parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan di mana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya. Berbeda dengan sistem presidensiil, di mana sistem parlemen dapat memiliki seorang presiden dan seorang perdana menteri, yang berwenang terhadap jalannya pemerintahan. Dalam presidensiil, presiden berwenang terhadap jalannya pemerintahan, namun dalam sistem parlementer presiden hanya menjadi simbol kepala negara saja. Sistem parlementer dibedakan oleh cabang eksekutif pemerintah tergantung dari dukungan secara langsung atau tidak langsung cabang legislatif, atau parlemen, sering dikemukakan melalui sebuah veto keyakinan. Oleh karena itu, tidak ada pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang eksekutif dan cabang legislatif, menuju kritikan dari beberapa yang merasa kurangnya pemeriksaan dan keseimbangan yang ditemukan dalam sebuah republik kepresidenan. Kekurangannya adalah dia sering mengarah ke pemerintahan yang kurang stabil, seperti dalam Republik Weimar Jerman dan Republik Keempat Perancis. Sistem parlemen biasanya memiliki pembedaan yang jelas antara kepala pemerintahan dan kepala negara, dengan kepala pemerintahan adalah perdana menteri, dan kepala negara ditunjuk sebagai dengan kekuasaan sedikit atau seremonial. Namun beberapa sistem parlemen juga memiliki seorang presiden terpilih dengan banyak kuasa sebagai kepala negara, memberikan keseimbangan dalam sistem ini. Negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer adalah Inggris, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura dan sebagainya B. Konstitusi Pemerintahan Republik Republik adalah sebuah negara di mana tampuk pemerintahan akhirnya bercabang dari rakyat, bukan dari prinsip keturunan bangsawan dan sering dipimpin atau dikepalai oleh seorang presiden Konstitusi Republik Indonesia Serikat, atau lebih dikenal dengan atau Konstitusi RIS adalah konstitusi yang berlaku di Republik Indonesia Serikat sejak tanggal 27 Desember 1949 (yakni tanggal diakuinya kedaulatan Indonesia dalam bentuk RIS) hingga diubahnya kembali bentuk negara federal RIS menjadi negara kesatuan RI pada tanggal 17 Agustus 1950. Sejak tanggal 17 Agustus 1950, konstitusi yang berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, atau dikenal dengan sebutan UUDS 1950 Konstitusi Republik Indonesia Serikat disahkan sebagai undang-undang dasar negara berkaitan dengan pembentukan Republik Indonesia Serikat oleh hasil Konfrensi Meja Bundar, sejak 27 Desember 1949 berdasarkan poin pertama dan kedua. Pemberlakuan Konstitusi Republik Indonesia Serikat tidak serta merta mencabut Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena perbedaan ruang lingkup penerapan. Konstitusi Republik Indonesia Serikat berlaku sampai dengan tanggal 17 Agustus 1950 di Indonesia berlaku UUDS 1950 berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 pada Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sosial Republik Indonesia, Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta. Konstitusi Republik Indonesia Serikat terdiri atas mukadimah, isi dan piagam persetujuan. Isi Konsitusi Republik Indonesia Serikat terdiri atas enam bab dan seratus sembilan puluh tujuh pasal. Mukadimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat berisi secara ringkas pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang menekankan aspek kesatuan, kedaulatan, ketuhanan dan filosofi negara Pancasila. 6. KONSTITUSI TEOKRAT
Istilah teokrasi diserap dari bahasa Yunani, theos (tuhan) dan kratein (memerintah), yang terjemahan bebasnya: pemerintahan tuhan. Kata demokrasi juga dari bahasa Yunani, demos (rakyat) dan kratein, dan diartikan sebagai: pemerintahan rakyat. Dalam sistim pemerintahan teokrasi, negara teokrasi dipimpin oleh seseorang atau sekelompok orang dari golongan pemimpin agama dan menjalankan ketentuan agama yang diakui negara dalam pemerintahannya. Pada beberapa negara tertentu, pemimpin negara ini malah dianggap sebagai wakil tuhan atau bahkan terkadang jelmaan tuhan. Konsekwensinya, pemimpin negara adalah dari kalangan agamawan. Ketentuan yang dijalankan adalah amanah tuhan yang tersurat dalam kitab suci dan diperuntukan untuk rakyat. Sehingga rakyat tidak lebih sebagai kelompok penderita dan menerima apa adanya segala ketentuan dan kebijakan dalam negara. Karena undang-undangnya dari tuhan, maka sudah sewajarnya bila peraturan-peraturannya ditujukan hanya untuk kalangan warga negara yang percaya pada kitab suci agama tersebut. Contohnya negara yang pernah menggunakan konstitusi teokratis adalah Belanda dan Swiss pada masa pemerintahan pengikut Calvin. Pada masa sekarang negara yang menganut paham ini adalah Tibet.
7. KONSTITUSI OTOKRATIF
Otokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya dipegang oleh satu orang. Istilah ini diturunkan dari bahasa Yunani autokratĂ´r yang secara harfiah berarti "berkuasa sendiri" atau "penguasa tunggal". Sehingga dalam menyusun konstitusi aturan aturan dalam menjalankan pemerintahannnya, pemerintah yang berkuasa lebih menguntungkan diri sendiri sehingga pemerintah yang berkuasa hanya itu–itu saja dalam artian bahwa dalam suatu Negara hanya di pimpin oleh seorang pemimpin saja dalam jangka waktu yang panjang.
BAB III PERMASALAHAN
BERKEMBANGYA SISTEM KONSTITUSI TEOKRASI DI INDONESIA
Kondisi umum, sistem pemerintahan Negara yang sangat popular kini adalah monarki konstitusional, teokrasi dan demokrasi. Negara-negara kerajaan seperti Malaysia, Jepang, dan Inggris merupakan contoh Negara monarki konstitusional. Beberapa kerajaan di daerah Timur Tengah seperti Arab Saudi dan Iran termasuk Negara penganut sistem teokrasi. Yang terbanyak dianut sekarang ini adalah sistem demokrasi, walaupun masih sebatas dalam ungkapan resmi saja. Lalu, Bagaimana dengan Indonesia? Sejak merdeka, Indonesia mengklaim dirinya bukan sebagai negara monarkhi, baik monarki absolut maupun monarkhi konstitusional, karena tidak mengenal raja sebagai pemimpin negara tertinggi di negeri ini. Kita juga menolak disebut sebagai negara teokrasi, karena tidak ada pengakuan secara tersurat bahwa kita mengakui kepemimpinan berdasarkan aturan agama apapun. Kita dengan tegas selalu menempatkan diri dalam kelompok negara dengan sistim pemerintahan demokrasi. Namun, benarkah demikian? Sudahkah negara ini menjalankan sistim pemerintahan demokrasi yang sesungguhnya? Kenyataanya di Indonesia, pemilihan kepemimpinan negara masih didominasi oleh pengaruh kelompok keagamaan. Bahkan secara sadar atau tidak, kita sering terjebak pada ketentuan agama tertentu untuk menentukan memenuhi syarat atau tidaknya seorang calon pemimpin, seperti yang dialami oleh mantan presiden Megawati dengan polemik wanita tidak boleh menjadi pemimpin dalam agama Islam. Secara tersirat, ketentuan bahwa calon presiden RI harus beragama Islam juga sangat kental, tapi tidak disuarakan. Ada keyakinan bahwa bila saja terdapat kandidat presiden non-muslim hal ini akan menjadi perbincangan hangat tentang sah tidaknya sang calon karena agamanya. Argumen yang mungkin mengemuka: wajarkah kaum muslimin dipimpin oleh non-muslim? Sama persis seperti, mungkinkah seorang non-muslim menduduki jabatan menteri agama Indonesia? Realitas ini menunjukkan bahwa Indonesia cenderung menganut sistim teokrasi. Sebagian besar produk hukum dan kebijakan negara, baik ditingkat nasional maupun daerah, juga merupakan bukti implementasi sistim teokrasi. Sebut saja yang paling jelas terang benderang: syariat Islam dengan beragam bentuk dan wujudnya. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Undang-undang Nomor 17 tahun 1999 tentang urusan haji, yang justru merupakan pengejawantahan “keinginan tuhan” yang tertuang dalam kitab suci agama Islam. Perda-perda juga tidak luput dari distorsi “menjalankan perintah tuhan”, seperti peraturan hukum cambuk di Aceh dan perda larangan keluar malam di Tangerang. Yang paling aktual dan santrer diperdebatkan saat ini, RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang jelas-jelas hanya mengakomodasi ketentuan tuhan dalam agama Islam merupakan calon UU penambah deretan ketentuan hukum negara teokrasi. Dalam percakapan sehari-hari, baik resmi kenegaraan maupun tidak resmi, terdapat banyak sekali ikon dan ungkapan “hukum tuhan” yang digunakan pemerintah dan politisi. Sebut saja “Indonesia sebagai negara agamis”, atau yang lebih spesifik “daerah A identik dengan Islamnya”, “Kota B adalah kota Beriman” (kota lainnya tidak beriman?), dan lain-lain. Simbol-simbol keagamaan juga sangat kental dalam koridor pemerintahan kita. Juga, pada setiap UU, PP, Kepres, dan seterusnya pasti terdapat kalimat ini: “Dengan Rahmat Tuhan Yang maha Esa” pada awal konsiderannya. Keadaan ini dinilai banyak kalangan lebih diakibatkan oleh sistim perpolitikan kita yang amat kental dipengaruhi kaum elit agama tertentu. Kelompok ini dapat dianggap sebagai perwujudan “utusan tuhan” sehingga seakan memiliki legitimasi untuk mendiktekan “pesan tuhan” kepada pemerintah dan masyarakat, semisal melalui fatwa, doktrin, somasi, dan lain-lain. Tentu disertai bumbu penutup: bila pesan tuhan ini diabaikan, kesengsaraan dan kutuk dari langit akan menimpa bangsa ini. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa demokrasi kita sesungguhnya baru pada tahap demokrasi “kulit luar”, belum menerapkan „nurani demokrasi“ yang sesungguhnya, yang melihat esensi warga negara sebagai individu yang perlu diperhatikan, dilindungi dan diakomodasi kepentingan hidupnya sebagai individu oleh negara. Yang sudah kita lakukan masih sebatas pada pemaknaan demokrasi sebagai multi partai, suara mayoritas, dan kepentingan mayoritas. Keadaan tersebut dapat saja berdampak positif dan baik. Namun dilemanya, struktur sosial dan politik masyarakat kita yang masih dominan dikungkung oleh ketentuan dogmatis keagamaan tertentu, mengalahkan akal sehat untuk menciptakan kemaslahatan dan kesejahteraan bersama dalam pluralitas. Akibatnya, pola pemerintahan negara yang tercipta mengikuti trend ketentuan dogma agama tertentu.
Kondisi umum, sistem pemerintahan Negara yang sangat popular kini adalah monarki konstitusional, teokrasi dan demokrasi. Negara-negara kerajaan seperti Malaysia, Jepang, dan Inggris merupakan contoh Negara monarki konstitusional. Beberapa kerajaan di daerah Timur Tengah seperti Arab Saudi dan Iran termasuk Negara penganut sistem teokrasi. Yang terbanyak dianut sekarang ini adalah sistem demokrasi, walaupun masih sebatas dalam ungkapan resmi saja. Lalu, Bagaimana dengan Indonesia? Sejak merdeka, Indonesia mengklaim dirinya bukan sebagai negara monarkhi, baik monarki absolut maupun monarkhi konstitusional, karena tidak mengenal raja sebagai pemimpin negara tertinggi di negeri ini. Kita juga menolak disebut sebagai negara teokrasi, karena tidak ada pengakuan secara tersurat bahwa kita mengakui kepemimpinan berdasarkan aturan agama apapun. Kita dengan tegas selalu menempatkan diri dalam kelompok negara dengan sistim pemerintahan demokrasi. Namun, benarkah demikian? Sudahkah negara ini menjalankan sistim pemerintahan demokrasi yang sesungguhnya? Kenyataanya di Indonesia, pemilihan kepemimpinan negara masih didominasi oleh pengaruh kelompok keagamaan. Bahkan secara sadar atau tidak, kita sering terjebak pada ketentuan agama tertentu untuk menentukan memenuhi syarat atau tidaknya seorang calon pemimpin, seperti yang dialami oleh mantan presiden Megawati dengan polemik wanita tidak boleh menjadi pemimpin dalam agama Islam. Secara tersirat, ketentuan bahwa calon presiden RI harus beragama Islam juga sangat kental, tapi tidak disuarakan. Ada keyakinan bahwa bila saja terdapat kandidat presiden non-muslim hal ini akan menjadi perbincangan hangat tentang sah tidaknya sang calon karena agamanya. Argumen yang mungkin mengemuka: wajarkah kaum muslimin dipimpin oleh non-muslim? Sama persis seperti, mungkinkah seorang non-muslim menduduki jabatan menteri agama Indonesia? Realitas ini menunjukkan bahwa Indonesia cenderung menganut sistim teokrasi. Sebagian besar produk hukum dan kebijakan negara, baik ditingkat nasional maupun daerah, juga merupakan bukti implementasi sistim teokrasi. Sebut saja yang paling jelas terang benderang: syariat Islam dengan beragam bentuk dan wujudnya. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Undang-undang Nomor 17 tahun 1999 tentang urusan haji, yang justru merupakan pengejawantahan “keinginan tuhan” yang tertuang dalam kitab suci agama Islam. Perda-perda juga tidak luput dari distorsi “menjalankan perintah tuhan”, seperti peraturan hukum cambuk di Aceh dan perda larangan keluar malam di Tangerang. Yang paling aktual dan santrer diperdebatkan saat ini, RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang jelas-jelas hanya mengakomodasi ketentuan tuhan dalam agama Islam merupakan calon UU penambah deretan ketentuan hukum negara teokrasi. Dalam percakapan sehari-hari, baik resmi kenegaraan maupun tidak resmi, terdapat banyak sekali ikon dan ungkapan “hukum tuhan” yang digunakan pemerintah dan politisi. Sebut saja “Indonesia sebagai negara agamis”, atau yang lebih spesifik “daerah A identik dengan Islamnya”, “Kota B adalah kota Beriman” (kota lainnya tidak beriman?), dan lain-lain. Simbol-simbol keagamaan juga sangat kental dalam koridor pemerintahan kita. Juga, pada setiap UU, PP, Kepres, dan seterusnya pasti terdapat kalimat ini: “Dengan Rahmat Tuhan Yang maha Esa” pada awal konsiderannya. Keadaan ini dinilai banyak kalangan lebih diakibatkan oleh sistim perpolitikan kita yang amat kental dipengaruhi kaum elit agama tertentu. Kelompok ini dapat dianggap sebagai perwujudan “utusan tuhan” sehingga seakan memiliki legitimasi untuk mendiktekan “pesan tuhan” kepada pemerintah dan masyarakat, semisal melalui fatwa, doktrin, somasi, dan lain-lain. Tentu disertai bumbu penutup: bila pesan tuhan ini diabaikan, kesengsaraan dan kutuk dari langit akan menimpa bangsa ini. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa demokrasi kita sesungguhnya baru pada tahap demokrasi “kulit luar”, belum menerapkan „nurani demokrasi“ yang sesungguhnya, yang melihat esensi warga negara sebagai individu yang perlu diperhatikan, dilindungi dan diakomodasi kepentingan hidupnya sebagai individu oleh negara. Yang sudah kita lakukan masih sebatas pada pemaknaan demokrasi sebagai multi partai, suara mayoritas, dan kepentingan mayoritas. Keadaan tersebut dapat saja berdampak positif dan baik. Namun dilemanya, struktur sosial dan politik masyarakat kita yang masih dominan dikungkung oleh ketentuan dogmatis keagamaan tertentu, mengalahkan akal sehat untuk menciptakan kemaslahatan dan kesejahteraan bersama dalam pluralitas. Akibatnya, pola pemerintahan negara yang tercipta mengikuti trend ketentuan dogma agama tertentu.
BAB IV PEMBAHASAN
Dalam sistem pemerintahan teokrasi, negara teokrasi dipimpin oleh seseorang atau sekelompok orang dari golongan pemimpin agama dan menjalankan ketentuan agama yang diakui negara dalam pemerintahannya. Pada beberapa negara tertentu, pemimpin negara ini malah dianggap sebagai wakil tuhan atau bahkan terkadang jelmaan tuhan. Sebaliknya, dalam negara demokrasi dengan slogan: dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, segalanya ditentukan oleh rakyat. Pimpinan dipilih dari antara rakyatnya, pemilihan dilakukan oleh rakyat, dan dia mengabdi untuk rakyat. Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah mempedomani ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh rakyatnya dan ia akan dinilai serta dimintai pertanggungjawaban oleh rakyat menggunakan ukuran yang dibuat oleh rakyat itu sendiri. Pemimpin bisa bergantian dengan anggota masyarakat yang lainnya sesuai mekanisme yang dibuat oleh rakyat tanpa diskriminasi agama, jenis kelamin, dan lain-lain. Setiap individu dalam masyarakat memiliki hak yang sama secara individual dan dihormati oleh negara tanpa kecuali. Tidak terdapat pembedaan dalam mengakomodasi kebutuhan rakyatnya, tidak perlu mayoritas-minoritas, besar-kecil, kelas atas – kelas bawah, dan sebagainya. Kenyataanya di Indonesia, Sebagai Negara yang menganut Demokrasi konstitusional yang memilik Konstitusi atau produk hukum dan kebijakan negara, baik ditingkat nasional maupun daerah, berbanding terbalik dalam implementasinya justru banyak menggunakan Konstitusi teokratif salah satu yang menjadi bukti implementasi sistem teokrasi. Sebut saja yang paling jelas terang benderang: syariat Islam dengan beragam bentuk dan wujudnya. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Undang-undang Nomor 17 tahun 1999 tentang urusan haji, yang justru merupakan pengejawantahan “keinginan tuhan” yang tertuang dalam kitab suci agama Islam bahkan sumpah presidenpun hanya menggunakan satu agama saja yaitu agama islam saja seolah-olah melupakan keberadaan agama lain. Yang berbunyi sebagai berikut: “Demi Allah saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa” Perda-perda juga tidak luput dari distorsi menjalankan konstitusi teokratis, seperti peraturan hukum cambuk, di Aceh dan perda larangan keluar malam di Tangerang dan banyak sekali fatwa MUI baik pusat maupun daerah yang lain yang tidak sedikit merugikan rakyat yang memiliki kepercayan atau agama yang berbeada. Pemilihan kepemimpinan negarapun masih didominasi oleh pengaruh kelompok keagamaan. Bahkan secara sadar atau tidak, kita sering terjebak pada ketentuan agama tertentu untuk menentukan memenuhi syarat atau tidaknya seorang calon pemimpin, seperti yang dialami oleh mantan presiden Megawati dengan polemik wanita tidak boleh menjadi pemimpin dalam agama Islam. Secara tersirat, ketentuan bahwa calon presiden RI harus beragama Islam juga sangat kental, tapi tidak disuarakan. Ada keyakinan bahwa bila saja terdapat kandidat presiden non-muslim hal ini akan menjadi perbincangan hangat tentang sah tidaknya sang calon karena agamanya. Argumen yang mungkin mengemuka: wajarkah kaum muslimin dipimpin oleh non-muslim? Sama persis seperti, mungkinkah seorang non-muslim menduduki jabatan menteri agama Indonesia? Ini membuktikan bahwa Negara kita lebih menggunakan sitem teokratis. Dalam percakapan sehari-hari, baik resmi kenegaraan maupun tidak resmi, terdapat banyak sekali ikon dan ungkapan “hukum tuhan” yang digunakan pemerintah dan politisi. Sebut saja “Indonesia sebagai negara agamis”, atau yang lebih spesifik “daerah A identik dengan Islamnya”, “Kota B adalah kota Beriman” (kota lainnya tidak beriman?), dan lain-lain. Simbol-simbol keagamaan juga sangat kental dalam koridor pemerintahan kita. Juga, pada setiap UU, PP, Kepres, Contoh-contoh tersebut sesungguhnya merupakan perlambangan Indonesia yang ingin mengatakan bahwa kita berdiri sebagai suatu negara dan menjalankan pemerintahan kenegaraan dengan fungsi utama untuk menjalankan pemerintahan tuhan di nusantara, sehingga tidak sedikit konstitusi yang ada harus mengakomodasi keinginan tuhan. Celakanya, keinginan tuhan yang dituangkan dalam buku suci agama tertentu saja yang dijadikan pedoman dalam menyusun konstitusi, kitab suci agama lain dianggap tidak ada. Keadaan ini dinilai banyak kalangan lebih diakibatkan oleh sistem perpolitikan kita yang amat kental dipengaruhi kaum elit agama tertentu. Kelompok ini dapat dianggap sebagai perwujudan “utusan tuhan” sehingga seakan memiliki legitimasi untuk mendiktekan “pesan tuhan” kepada pemerintah dan masyarakat, semisal melalui fatwa, doktrin, somasi, dan lain-lain. Tentu disertai bumbu penutup: bila pesan tuhan ini diabaikan, kesengsaraan dan kutuk dari langit akan menimpa bangsa ini. Kenyataan ini tentu saja merupakan pengingkaran sejarah pembentukan negara pada awalnya karena Indonesia hakekatnya dibentuk atas dasar kesepakatan bersama (kontrak sosial) rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke melalui wakil-wakilnya, para pejuang kemerdekaan waktu itu. Kontrak sosial tersebut, sebagai dasar kehidupan berdemokrasi suatu negara, telah kita ganti dengan “pesan-pesan tuhan” dari kelompok agama tertentu
Dalam sistem pemerintahan teokrasi, negara teokrasi dipimpin oleh seseorang atau sekelompok orang dari golongan pemimpin agama dan menjalankan ketentuan agama yang diakui negara dalam pemerintahannya. Pada beberapa negara tertentu, pemimpin negara ini malah dianggap sebagai wakil tuhan atau bahkan terkadang jelmaan tuhan. Sebaliknya, dalam negara demokrasi dengan slogan: dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, segalanya ditentukan oleh rakyat. Pimpinan dipilih dari antara rakyatnya, pemilihan dilakukan oleh rakyat, dan dia mengabdi untuk rakyat. Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah mempedomani ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh rakyatnya dan ia akan dinilai serta dimintai pertanggungjawaban oleh rakyat menggunakan ukuran yang dibuat oleh rakyat itu sendiri. Pemimpin bisa bergantian dengan anggota masyarakat yang lainnya sesuai mekanisme yang dibuat oleh rakyat tanpa diskriminasi agama, jenis kelamin, dan lain-lain. Setiap individu dalam masyarakat memiliki hak yang sama secara individual dan dihormati oleh negara tanpa kecuali. Tidak terdapat pembedaan dalam mengakomodasi kebutuhan rakyatnya, tidak perlu mayoritas-minoritas, besar-kecil, kelas atas – kelas bawah, dan sebagainya. Kenyataanya di Indonesia, Sebagai Negara yang menganut Demokrasi konstitusional yang memilik Konstitusi atau produk hukum dan kebijakan negara, baik ditingkat nasional maupun daerah, berbanding terbalik dalam implementasinya justru banyak menggunakan Konstitusi teokratif salah satu yang menjadi bukti implementasi sistem teokrasi. Sebut saja yang paling jelas terang benderang: syariat Islam dengan beragam bentuk dan wujudnya. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Undang-undang Nomor 17 tahun 1999 tentang urusan haji, yang justru merupakan pengejawantahan “keinginan tuhan” yang tertuang dalam kitab suci agama Islam bahkan sumpah presidenpun hanya menggunakan satu agama saja yaitu agama islam saja seolah-olah melupakan keberadaan agama lain. Yang berbunyi sebagai berikut: “Demi Allah saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa” Perda-perda juga tidak luput dari distorsi menjalankan konstitusi teokratis, seperti peraturan hukum cambuk, di Aceh dan perda larangan keluar malam di Tangerang dan banyak sekali fatwa MUI baik pusat maupun daerah yang lain yang tidak sedikit merugikan rakyat yang memiliki kepercayan atau agama yang berbeada. Pemilihan kepemimpinan negarapun masih didominasi oleh pengaruh kelompok keagamaan. Bahkan secara sadar atau tidak, kita sering terjebak pada ketentuan agama tertentu untuk menentukan memenuhi syarat atau tidaknya seorang calon pemimpin, seperti yang dialami oleh mantan presiden Megawati dengan polemik wanita tidak boleh menjadi pemimpin dalam agama Islam. Secara tersirat, ketentuan bahwa calon presiden RI harus beragama Islam juga sangat kental, tapi tidak disuarakan. Ada keyakinan bahwa bila saja terdapat kandidat presiden non-muslim hal ini akan menjadi perbincangan hangat tentang sah tidaknya sang calon karena agamanya. Argumen yang mungkin mengemuka: wajarkah kaum muslimin dipimpin oleh non-muslim? Sama persis seperti, mungkinkah seorang non-muslim menduduki jabatan menteri agama Indonesia? Ini membuktikan bahwa Negara kita lebih menggunakan sitem teokratis. Dalam percakapan sehari-hari, baik resmi kenegaraan maupun tidak resmi, terdapat banyak sekali ikon dan ungkapan “hukum tuhan” yang digunakan pemerintah dan politisi. Sebut saja “Indonesia sebagai negara agamis”, atau yang lebih spesifik “daerah A identik dengan Islamnya”, “Kota B adalah kota Beriman” (kota lainnya tidak beriman?), dan lain-lain. Simbol-simbol keagamaan juga sangat kental dalam koridor pemerintahan kita. Juga, pada setiap UU, PP, Kepres, Contoh-contoh tersebut sesungguhnya merupakan perlambangan Indonesia yang ingin mengatakan bahwa kita berdiri sebagai suatu negara dan menjalankan pemerintahan kenegaraan dengan fungsi utama untuk menjalankan pemerintahan tuhan di nusantara, sehingga tidak sedikit konstitusi yang ada harus mengakomodasi keinginan tuhan. Celakanya, keinginan tuhan yang dituangkan dalam buku suci agama tertentu saja yang dijadikan pedoman dalam menyusun konstitusi, kitab suci agama lain dianggap tidak ada. Keadaan ini dinilai banyak kalangan lebih diakibatkan oleh sistem perpolitikan kita yang amat kental dipengaruhi kaum elit agama tertentu. Kelompok ini dapat dianggap sebagai perwujudan “utusan tuhan” sehingga seakan memiliki legitimasi untuk mendiktekan “pesan tuhan” kepada pemerintah dan masyarakat, semisal melalui fatwa, doktrin, somasi, dan lain-lain. Tentu disertai bumbu penutup: bila pesan tuhan ini diabaikan, kesengsaraan dan kutuk dari langit akan menimpa bangsa ini. Kenyataan ini tentu saja merupakan pengingkaran sejarah pembentukan negara pada awalnya karena Indonesia hakekatnya dibentuk atas dasar kesepakatan bersama (kontrak sosial) rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke melalui wakil-wakilnya, para pejuang kemerdekaan waktu itu. Kontrak sosial tersebut, sebagai dasar kehidupan berdemokrasi suatu negara, telah kita ganti dengan “pesan-pesan tuhan” dari kelompok agama tertentu
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan materi di atas dapat kita simpulkan bahwa indnesia yang menggunakan beberapa dari klasifikasi konstitusi anatara lain adalah: Konstitusi tertulis. Fleksibel, kaku (rigid), derajat tinggi, kesatuan dan sistem pemerintahan Demokrasi konstitusional Namaun dalam Kenyataanya di Indonesia, meskipun Sebagia Negara yang menganut Demokrasi konstitusional yang memilik Konstitusi atau produk hukum dan kebijakan negara, baik ditingkat nasional maupun daerah, di dalam implementasinya banyak menggunakan Konstitusi teokratif. Namun banyak yang tidak sadar dengan semua itu. Salah satu yang menjadi bukti implementasi sistem teokrasi di Indonesia adalah. sumpah presidenpun hanya menggunakan satu agama saja yaitu agama islam saja seolah-olah melupakan keberadaan agama lain, sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa Indonesia adalah Negara yang berkulit Demokrasi namun berisi Teokrasi.
DAFTAR PUSTAKA http://hukum.kompasiana.com/2012/05/03/klasifikasi-konstitusi-uud-1945-negara-republik-indonesia-459485.html http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/ wahyudidjafar.web.id/tag/klasifikasi-konstitusi/ http://abr-center.blogspot.com/2011/05/klasifikasi-konstitusi-di-indonesia.html
Kak saya adik tingkat kakak di UNRAM smester 2,
ReplyDeleteminta izin sedot makalahnya iya,
tapi tetep sumbernya kami pakai kakak di makalah kami,
Izin untuk sumber makalah iya kak
ReplyDelete